Gambar Caleg
oleh Amelia Fitriani
Wuuush! Angin dini hari menerbangkan debu-debu di jalan Cilibende Bogor tatkala sebuah sepeda motor melaju kencang. Debu-debu itu kemudian menempel di poster-poster caleg DPRD Kota Bogor yang dipasang tepat di sebelah kampus Diploma IPB. Terhitung ada empat poster di sana.
Detik yang merambat mengisyaratkan bahwa waktu telah melampui pukul satu dini hari. Dinginya kota Bogor jadi saksi, empat poster caleg saling menghujat satu sama lain. Dimulai oleh caleg Partai Ayam.
“Ah, bagaimana kalian mau menang pemilu, pasang poster kecil-kecil begitu. Contohlah aku!” ujarnya pongah. Ukuran posternya memang lebih besar dari yang lain. Posenya tampak berwibawa dengan setelan jas hitam.
“Kamu ini kan partai besar, wajarlah jika danamu cukup untuk membuat poster sebesar itu,” komentar caleg Partai Angsa, caleg perempuan yang berpose dengan kepalan tangan ke atas bak pejuang kemerdekaan.
“Iya dananya besar, tapi perlu diragukan kehalalannya!” sindir caleg Partai Bebek yang merupakan adik kelas caleg Partai Ayam semasa kuliah.
“Apa maksud ucapan kau, hah?! Jelaslah danaku halal, partaiku besar, akupun anggota legislatif periode kemarin yang tanpa skandal. Sembarang ucap kau punya mulut!” caleg Partai Ayam geram.
Poster caleg Partai Bebek dengan senyum renyah serupa coverboy berkomentar.
“Alaaah! Munafik sekali kamu ini. Kamu memang anggota legislatif tapi tak lebih profesional dari tukang becak. Tidur saja kerjamu di kursi empuk itu. Jika tidak karena korupsi tak mungkin kau bisa beli banyak rumah, empat mobil high class dan sekolahkan anak-anakmu ke luar negeri.”
“Kurang ajar! Lantas kau pikir kau lebih baik dari aku? Memangnya aku tidak tahu, ijazah sarjanamu itu aspal, asli tapi palsu. Tak pantas kau jadi caleg!”
“Sudah! Sudah! Pusing aku lihat kalian saling hujat! Indonesia tak kan maju jika caleg-calegnya seperti kalian,” caleg Partai Angsa coba melerai.
Melihat ketiga pesaingnya hujat menghujat, caleg Partai Itik, yang posenya seperti pose di KTP hanya bungkam. Matanya nanar menatap jalanan yang lengang. Terbayang hutangnya di bank yang lebih dari 50 juta untuk membiayai kampanye ini. Sebentar kemudian sebuah truk lewat. Menerbangkan debu-debu yang lantas menempel di poster caleg-caleg itu.
Penulis adalah mahasiswi semester 2 jurusan HI FEIS
Wuuush! Angin dini hari menerbangkan debu-debu di jalan Cilibende Bogor tatkala sebuah sepeda motor melaju kencang. Debu-debu itu kemudian menempel di poster-poster caleg DPRD Kota Bogor yang dipasang tepat di sebelah kampus Diploma IPB. Terhitung ada empat poster di sana.
Detik yang merambat mengisyaratkan bahwa waktu telah melampui pukul satu dini hari. Dinginya kota Bogor jadi saksi, empat poster caleg saling menghujat satu sama lain. Dimulai oleh caleg Partai Ayam.
“Ah, bagaimana kalian mau menang pemilu, pasang poster kecil-kecil begitu. Contohlah aku!” ujarnya pongah. Ukuran posternya memang lebih besar dari yang lain. Posenya tampak berwibawa dengan setelan jas hitam.
“Kamu ini kan partai besar, wajarlah jika danamu cukup untuk membuat poster sebesar itu,” komentar caleg Partai Angsa, caleg perempuan yang berpose dengan kepalan tangan ke atas bak pejuang kemerdekaan.
“Iya dananya besar, tapi perlu diragukan kehalalannya!” sindir caleg Partai Bebek yang merupakan adik kelas caleg Partai Ayam semasa kuliah.
“Apa maksud ucapan kau, hah?! Jelaslah danaku halal, partaiku besar, akupun anggota legislatif periode kemarin yang tanpa skandal. Sembarang ucap kau punya mulut!” caleg Partai Ayam geram.
Poster caleg Partai Bebek dengan senyum renyah serupa coverboy berkomentar.
“Alaaah! Munafik sekali kamu ini. Kamu memang anggota legislatif tapi tak lebih profesional dari tukang becak. Tidur saja kerjamu di kursi empuk itu. Jika tidak karena korupsi tak mungkin kau bisa beli banyak rumah, empat mobil high class dan sekolahkan anak-anakmu ke luar negeri.”
“Kurang ajar! Lantas kau pikir kau lebih baik dari aku? Memangnya aku tidak tahu, ijazah sarjanamu itu aspal, asli tapi palsu. Tak pantas kau jadi caleg!”
“Sudah! Sudah! Pusing aku lihat kalian saling hujat! Indonesia tak kan maju jika caleg-calegnya seperti kalian,” caleg Partai Angsa coba melerai.
Melihat ketiga pesaingnya hujat menghujat, caleg Partai Itik, yang posenya seperti pose di KTP hanya bungkam. Matanya nanar menatap jalanan yang lengang. Terbayang hutangnya di bank yang lebih dari 50 juta untuk membiayai kampanye ini. Sebentar kemudian sebuah truk lewat. Menerbangkan debu-debu yang lantas menempel di poster caleg-caleg itu.
Penulis adalah mahasiswi semester 2 jurusan HI FEIS