UIN Dan Cerpen
oleh Abraham Zakky Zulhazmi
Beberapa hari terakhir ini saya jadi begitu akrab dengan cerpen. Sebab kebetulan Komunitas KETIK, komunitas penulis yang sempat saya dirikan di Solo, memperingati HUT Kota Solo yang ke-264 dengan menggelar Lomba Menulis Cerpen ‘Solo Kotaku, Jawa Budayaku’. Lomba untuk pelajar SMP dan SMA se-Solo itu mendapat apresiasi hangat dari publik pelajar Kota Solo. Tercatat 50 cerpen menumpuk di meja panitia sampai hari terakhir pengumpulan karya. Angka yang cukup menggembirakan di tengah duka Kota Solo yang ditimpa bencana banjir kala itu.
Dari 50 cerpen yang masuk, sangat bisa menghadirkan optimis besar dalam hati saya. Mengingat di usia belia, teman -teman kita itu telah mampu meramu cerpen-cerpen yang menggugah. Terlebih tema yang harus mereka garap tak bisa dibilang mudah. Meski beberapa cerpen lain belum menunjukkan sebuah progresifitas yang memadai, yang layak diapresiasi tentunya adalah semangat berkarya mereka yang tak mudah padam. Keinginan Komunitas KETIK untuk membukukan karya para juara dalam sebuah antologi cerpen sangat kontributif sekali saya kira. Sebuah langkah konkret untuk menjaga nyala terang ruang sastra pelajar Kota Solo.
Lalu, bagaimana dengan UIN Jakarta? Di mana cerpen-cerpen mahasiswanya? Jujur, saya jarang menemui. Mungkin saya yang malas mengunjungi ruang-ruang sastra atau mungkin memang cerpenis-cerpenis kampus Ciputat ini masih tertidur dan belum ada yang membangunkan. Lantas, keberadaan komunitas-komunitas sastra semisal FLP, Kampoeng Seni, Senjakala dan yang lain di kampus ini sudah sejauh apa peranannya? Taring mahasiswa-mahasiswa Fakultas Adab (adab bermakna sastra, bukan?) juga belum saya lihat.
Seyogyanya komunitas tersebut tidak berhenti pada diskusi sastra belaka ataupun hanya terfokus pada sastra panggung (teater dan pembacaan puisi). Kegiatan pendokumentasian karya sastra (cerpen) dalam bentuk buku atau buletin harus mulai digagas dan kemudian direalisasikan. Mahasiswa berdisiplin ilmu sastra juga jangan melulu berlalu lalang di ranah teoritis. Di akhir tulisan ini saya teringat sms Zawawi Imron yang dikirim kepada saya tadi malam: pendokumentasian karya berguna untuk melihat tinggi dan rendahnya mutu pemikiran pada saat karya itu ditulis. Pada zaman yang minus karya sastra pertanda tidak ada pemikiran kreatif. Joni Ariadinata juga berpesan lewat sms: tanpa dokumentasi sastra, sejarah berhenti dan budaya akan mati!
Penulis adalah mahasiswa KPI FDK semester 2.
Beberapa hari terakhir ini saya jadi begitu akrab dengan cerpen. Sebab kebetulan Komunitas KETIK, komunitas penulis yang sempat saya dirikan di Solo, memperingati HUT Kota Solo yang ke-264 dengan menggelar Lomba Menulis Cerpen ‘Solo Kotaku, Jawa Budayaku’. Lomba untuk pelajar SMP dan SMA se-Solo itu mendapat apresiasi hangat dari publik pelajar Kota Solo. Tercatat 50 cerpen menumpuk di meja panitia sampai hari terakhir pengumpulan karya. Angka yang cukup menggembirakan di tengah duka Kota Solo yang ditimpa bencana banjir kala itu.
Dari 50 cerpen yang masuk, sangat bisa menghadirkan optimis besar dalam hati saya. Mengingat di usia belia, teman -teman kita itu telah mampu meramu cerpen-cerpen yang menggugah. Terlebih tema yang harus mereka garap tak bisa dibilang mudah. Meski beberapa cerpen lain belum menunjukkan sebuah progresifitas yang memadai, yang layak diapresiasi tentunya adalah semangat berkarya mereka yang tak mudah padam. Keinginan Komunitas KETIK untuk membukukan karya para juara dalam sebuah antologi cerpen sangat kontributif sekali saya kira. Sebuah langkah konkret untuk menjaga nyala terang ruang sastra pelajar Kota Solo.
Lalu, bagaimana dengan UIN Jakarta? Di mana cerpen-cerpen mahasiswanya? Jujur, saya jarang menemui. Mungkin saya yang malas mengunjungi ruang-ruang sastra atau mungkin memang cerpenis-cerpenis kampus Ciputat ini masih tertidur dan belum ada yang membangunkan. Lantas, keberadaan komunitas-komunitas sastra semisal FLP, Kampoeng Seni, Senjakala dan yang lain di kampus ini sudah sejauh apa peranannya? Taring mahasiswa-mahasiswa Fakultas Adab (adab bermakna sastra, bukan?) juga belum saya lihat.
Seyogyanya komunitas tersebut tidak berhenti pada diskusi sastra belaka ataupun hanya terfokus pada sastra panggung (teater dan pembacaan puisi). Kegiatan pendokumentasian karya sastra (cerpen) dalam bentuk buku atau buletin harus mulai digagas dan kemudian direalisasikan. Mahasiswa berdisiplin ilmu sastra juga jangan melulu berlalu lalang di ranah teoritis. Di akhir tulisan ini saya teringat sms Zawawi Imron yang dikirim kepada saya tadi malam: pendokumentasian karya berguna untuk melihat tinggi dan rendahnya mutu pemikiran pada saat karya itu ditulis. Pada zaman yang minus karya sastra pertanda tidak ada pemikiran kreatif. Joni Ariadinata juga berpesan lewat sms: tanpa dokumentasi sastra, sejarah berhenti dan budaya akan mati!
Penulis adalah mahasiswa KPI FDK semester 2.