Rabu, 10 Juni 2009

Kartini dan Kekuatan Literasi

oleh Arief Mahmudi

Saya kira tidak ada yang tidak mengenal Kartini. Paling tidak, bila tidak mengenal secara dekat, pastilah tiap orang di negeri ini yang pernah mengenyam pendidikan dasar akan hafal lagu “Ibu Kita Kartini” atau sekurang-kurangnya pernah mendengar orang lain menyanyikan lagu itu.

Lalu apa yang sebenarnya membuat Kartini sangat terkenal? Jawabannya: karena ia adalah seorang pahlawan. Itu betul. Tapi mengapa Kartini disebut sebagai pahlawan, padahal sejarah tidak pernah mencatatnya sebagai wanita pejuang yang mengangkat senjata layaknya Cut Nyak Dien dan pahlawan-pahlawan wanita lainnya? Maka jawaban yang paling tepat adalah karena Kartini berjuang melawan diskriminasi terhadap kaum perempuan lewat tulisan-tulisannya. Ya, karena tulisan-tulisannya itulah Kartini kemudian dikenal sebagai sosok wanita pejuang negeri ini. Tulisan-tulisan Kartini yang dimaksud adalah 150 suratnya kepada Nyonya dan Tuan Abendanon, dua orang londo baik budi.

Surat-surat itu antara lain berisi gugatan terhadap kungkungan adat Jawa yang melanda kaum perempuan saat itu, seperti adat pingitan, perjodohan, pembatasan dalam kesempatan belajar, dan sebagainya. Pada tahun 1911 surat-surat tersebut diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Door Duisternis Tot Licht berkat penyusunan yang dilakukan oleh J.H. Abendanon. Pada tahun 1922, buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran. Lalu pada tahun 1938 diterbitkan kembali dengan format yang berbeda, dengan diterjemahkan oleh Armijn Pane, seorang sastrawan angkatan Pujangga Baru. Armijn Pane membagi kumpulan surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kepada pembaca akan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Dan untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti sebuah roman tentang kehidupan perempuan.

Terlepas dari itu semua, ada satu pesan yang hendak saya sampaikan di sini. Yaitu bahwa kekuatan literasi (baca-tulis) ternyata mampu menjadi alat perjuangan. Kartini memang mati muda—pada usia 25 tahun setelah melahirkan anak lelakinya, lebih muda dari penyair yang “mau hidup seribu tahun lagi”, Chairil Anwar yang mati ketika belum genap berusia 27 tahun—namun sumbangsihnya sangat nyata terhadap kondisi perempuan negeri ini, saat ini.

Penulis adalah mahasiswa jurusan PAI FITK semester 6

buletin sastra © 2008. Template by Dicas Blogger.

TOPO