Sang Imam
oleh Kenyot Adisattva
Nada iqamah hampir waktu tuk terlantun-kumandangkan. Jamaah sudah penuhi shaf dari yang terdepan hingga paling belakang. Tapi sang imam yang lewat 54 menit telah ditunggu tak jua kunjung tiba. Sementara ufuk barat kian menungu, kian menjingga.
Entah kemana ini sebenarnya sang imam. Tidak biasa ia telat datang hingga sedemikiannya. Hari-hari sbelumnya kalaupun telat tak sampai segininya. Lama. Bosan jamaah menunggu. Oh sepertinya ia ditahan pak Bupati. Tadi ia disuruh menghadap. Lalu? Terpaksa ritual ashar harus tertunda. Tak telat. Tak ada yang telat hingga imam tiba. Tak ada yang berhak gantikan imam. Imam harus datang.
Sepertinya tak satupun orang dari jamaah berhak menjadi imam. Imam sudah dipilihkan. Nanti ia pasti datang. Sesuai ramalan. Ia memakai peci keemasan, di tangan genggam tongkat yang tak cukup panjang, mengendarai mobil warna putih berkilauan. Begitulah bunyi ramalan tentang sang imam hari ini. Imam yang bakal datang sebelum hari usang.
Seorang mencoba menawarkan diri. Merasa ini tak boleh dibiarkan. Ritual lebih mahal dari penantian. Apalah pentingnya seorang imam. Bukankah setiap orang adalah imam? Haha… mampus ia dimaki-maki. Jamaah lebih memilih menunggu sang imam. Tak ada yang mampu, mau, pun berhak menggantinya. Semua yakin imam pasti datang. Tiba seperti yang dijanjikan. Ya. Pasti.
Jamaah telah menunggu. Sudah ada yang datang sebelum adzan tadi. Ini malah ada yang selesai shalat sunah sebanyak 20 rakaat. Di mana sang iamam? iyakah ia benar-benar akan datang? Beberapa jamaah mulai skeptis. Ada yang memilih pulang. Ada yang urungkan niat berjamaah. Tapi yang jelas tak ada yang berani memulai jamaah. Apa kata Primbon tak mungkin salah. Pilihannya mau menunggu, atau tidak sama sekali. Bagi kebanyakan, imam adalah orang yang sudah dipilih-tetapkan. Apapun yang terjadi imam harus ditunggu, dan pasti ia datang.
Hidup pasti memimpin dan dipimpin. Memilih dan dipilih. Memilih sendiri atau dipilihkan. Adakah selain dari pada itu? Adapun pasti mudah dikatakan. Enak dan sangat ringan; itu adalah pengecualian.
Semua memilih untuk dipimpin. Semua memilih untuk memilih. Semua memilih untuk dipilihkan. Beginilah jamaah. Bukan hanya hari ini. Ini juga yang terlanjur tertanam semenjak generasi leluhur. Turun temurun. Tertanam dalam-dalam pada benak. Jika ada yang terombak dari otak dan rasa pada satu dua orang jamaah, lalu ia berkata yang terjadi selama ini adalah kesalahan, maka justru ia yang dianggap salah. Karena jamaah tidak mungkin salah. Orang banyak dalam teori terpercaya tak pernah menyesepakati sebuah kesalahan.
Waktu kian bergulir. Hampir habis waktu ashar. Matahari mulai tak terlihat angkuh lagi. Justru ia telah menjadi seperti seorang putri manis rupa. Sementara imam yang ditunggu belum juga datang. Tapi pasti datang! Yakin, pasti sang imam datang sebelum maghrib nanti.
Nada iqamah hampir waktu tuk terlantun-kumandangkan. Jamaah sudah penuhi shaf dari yang terdepan hingga paling belakang. Tapi sang imam yang lewat 54 menit telah ditunggu tak jua kunjung tiba. Sementara ufuk barat kian menungu, kian menjingga.
Entah kemana ini sebenarnya sang imam. Tidak biasa ia telat datang hingga sedemikiannya. Hari-hari sbelumnya kalaupun telat tak sampai segininya. Lama. Bosan jamaah menunggu. Oh sepertinya ia ditahan pak Bupati. Tadi ia disuruh menghadap. Lalu? Terpaksa ritual ashar harus tertunda. Tak telat. Tak ada yang telat hingga imam tiba. Tak ada yang berhak gantikan imam. Imam harus datang.
Sepertinya tak satupun orang dari jamaah berhak menjadi imam. Imam sudah dipilihkan. Nanti ia pasti datang. Sesuai ramalan. Ia memakai peci keemasan, di tangan genggam tongkat yang tak cukup panjang, mengendarai mobil warna putih berkilauan. Begitulah bunyi ramalan tentang sang imam hari ini. Imam yang bakal datang sebelum hari usang.
Seorang mencoba menawarkan diri. Merasa ini tak boleh dibiarkan. Ritual lebih mahal dari penantian. Apalah pentingnya seorang imam. Bukankah setiap orang adalah imam? Haha… mampus ia dimaki-maki. Jamaah lebih memilih menunggu sang imam. Tak ada yang mampu, mau, pun berhak menggantinya. Semua yakin imam pasti datang. Tiba seperti yang dijanjikan. Ya. Pasti.
Jamaah telah menunggu. Sudah ada yang datang sebelum adzan tadi. Ini malah ada yang selesai shalat sunah sebanyak 20 rakaat. Di mana sang iamam? iyakah ia benar-benar akan datang? Beberapa jamaah mulai skeptis. Ada yang memilih pulang. Ada yang urungkan niat berjamaah. Tapi yang jelas tak ada yang berani memulai jamaah. Apa kata Primbon tak mungkin salah. Pilihannya mau menunggu, atau tidak sama sekali. Bagi kebanyakan, imam adalah orang yang sudah dipilih-tetapkan. Apapun yang terjadi imam harus ditunggu, dan pasti ia datang.
Hidup pasti memimpin dan dipimpin. Memilih dan dipilih. Memilih sendiri atau dipilihkan. Adakah selain dari pada itu? Adapun pasti mudah dikatakan. Enak dan sangat ringan; itu adalah pengecualian.
Semua memilih untuk dipimpin. Semua memilih untuk memilih. Semua memilih untuk dipilihkan. Beginilah jamaah. Bukan hanya hari ini. Ini juga yang terlanjur tertanam semenjak generasi leluhur. Turun temurun. Tertanam dalam-dalam pada benak. Jika ada yang terombak dari otak dan rasa pada satu dua orang jamaah, lalu ia berkata yang terjadi selama ini adalah kesalahan, maka justru ia yang dianggap salah. Karena jamaah tidak mungkin salah. Orang banyak dalam teori terpercaya tak pernah menyesepakati sebuah kesalahan.
Waktu kian bergulir. Hampir habis waktu ashar. Matahari mulai tak terlihat angkuh lagi. Justru ia telah menjadi seperti seorang putri manis rupa. Sementara imam yang ditunggu belum juga datang. Tapi pasti datang! Yakin, pasti sang imam datang sebelum maghrib nanti.