Menakar Sastra Indonesia
oleh Dedik Priyanto
“Mau kemanakah sastra Indonesia?” pertayaaan itu seringkali muncul tatkala saya lagi ngobrol dengan teman sejawat, atau tatkala berdiskusi di beberapa komunitas sastra. Pertanyaan itu, saya yakin juga menyeruak di benak pencinta dan penikmat sastra tanah air.
Sebuah karya sastra memang tak akan terlepas dari keadaan sosio-kultural yang melatarbelakangi kehadiranya. Maka dari itu kalau diperkenanakan menjawab pertanyaan di atas, saya akan menjawab: abstrak. Hampir sama dengan jawaban pertanyaan,”Mau kemanakah negara Indonesia?”
Maman S Mahayana, kritikus sastra UI, menyatakan paling tidak ada dua faktor yang melatarbelakangi hal ini. Pertama. Pengaruh arus globallisasi dan lompatan kemajuan teknologi. Di dalamnya termasuk juga pengaruh media. Sehingga para pencinta sastra bisa dengan mudah mengakses pelbagai karya sastra dari belahan bumi manapun. Misalnya dengan membuka sriti.com, maka akan terlihat cerpen-cerpen yang terbit di pelbagai media di tanah air tiap minggunya.
Hal ini menjadi sebuah keuntungan bagi sastrawan pemula untuk mempublikasikan karya mereka lewat dunia maya. Begitupun dengan kemunculan komunitas-komunitas sastra di dunia maya seperti cybersastra, apresiasi sastra dan sebagainya, yang turut memberikan andil bagi khazanah kesusasteraan Indonesia. Namun, berbeda dengan perkembangan media cetak. Terutama setelah tiadanya rubrik sastra pada beberapa koran Nasional yang notabene menjadi ikon sastra Indonesia seperti Republika dan Media Indonesia. Bahkan saya mendengar dari seorang kawan bahwa majalah Annida—yang biasanya menjadi rujukan penikmat sastra bergenre Islam—telah tidak terbit lagi. Sungguh ironis. Kolom-kolom budaya dan sastra di beberapa koran itu justru tergeser dengan iklan.
Kedua, pengaruh perubahan sosial politik dalam tatanan pemerintahan. Seperti kita tahu setelah tumbangnya orde baru pada 1998, perubahan sosial dalam masyarakat terjadi dengan sangat cepat. Tak terkecuali sastra. Setelah masa itu, booming sastra memang sangat menggembirakan. Hal ini ditandai dengan kemunculan para penulis wanita. Sepeti Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu yang berani mengekspos hal-hal yang pada awalnya dianggap tabu. Juga dengan kemunculan arah sastra bergenre Islam—terlepas dari pelbagai kontroversi, namun terbukti sangat diminati oleh khalayak—yang dimotori oleh Helvy Tiana Rosa dkk, lewat Forum Lingkar Pena (FLP) yang mempunyai jejaring luas hingga luar negeri.
Juga ditandai dengan kebangkitan ‘sastra pembebasan’ yang dimotori oleh Hudan Hidayat lewat komunitas Teater Utan Kayu (TUK). Dan jangan dilupakan keberadaan sastra yang bergenre sains seperti Andrea Hirata dengan Tetralogi Laskar Pelangi yang fenomenal itu.
Terus kemanakah arah sastra Indonesia saat ini? Lagi-lagi sulit memperkirakanya. Abstrak. Yang jelas ke depan akan semakin banyak gebrakan-gebrakan baru yang akan memperkaya khazanah kesusasteraan Indonesia. Dan tentunya memberikan sumbangsih bagi peradaban. Saya teringat sebuah kata indah dari Pramoedya Ananta Toer,” Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai gelar kesarjanaan apa saja. Tapi tanpa mencintai sastra kalian hanya tinggal hewan yang pandai”.
Penulis adalah penikmat sastra, mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta.
“Mau kemanakah sastra Indonesia?” pertayaaan itu seringkali muncul tatkala saya lagi ngobrol dengan teman sejawat, atau tatkala berdiskusi di beberapa komunitas sastra. Pertanyaan itu, saya yakin juga menyeruak di benak pencinta dan penikmat sastra tanah air.
Sebuah karya sastra memang tak akan terlepas dari keadaan sosio-kultural yang melatarbelakangi kehadiranya. Maka dari itu kalau diperkenanakan menjawab pertanyaan di atas, saya akan menjawab: abstrak. Hampir sama dengan jawaban pertanyaan,”Mau kemanakah negara Indonesia?”
Maman S Mahayana, kritikus sastra UI, menyatakan paling tidak ada dua faktor yang melatarbelakangi hal ini. Pertama. Pengaruh arus globallisasi dan lompatan kemajuan teknologi. Di dalamnya termasuk juga pengaruh media. Sehingga para pencinta sastra bisa dengan mudah mengakses pelbagai karya sastra dari belahan bumi manapun. Misalnya dengan membuka sriti.com, maka akan terlihat cerpen-cerpen yang terbit di pelbagai media di tanah air tiap minggunya.
Hal ini menjadi sebuah keuntungan bagi sastrawan pemula untuk mempublikasikan karya mereka lewat dunia maya. Begitupun dengan kemunculan komunitas-komunitas sastra di dunia maya seperti cybersastra, apresiasi sastra dan sebagainya, yang turut memberikan andil bagi khazanah kesusasteraan Indonesia. Namun, berbeda dengan perkembangan media cetak. Terutama setelah tiadanya rubrik sastra pada beberapa koran Nasional yang notabene menjadi ikon sastra Indonesia seperti Republika dan Media Indonesia. Bahkan saya mendengar dari seorang kawan bahwa majalah Annida—yang biasanya menjadi rujukan penikmat sastra bergenre Islam—telah tidak terbit lagi. Sungguh ironis. Kolom-kolom budaya dan sastra di beberapa koran itu justru tergeser dengan iklan.
Kedua, pengaruh perubahan sosial politik dalam tatanan pemerintahan. Seperti kita tahu setelah tumbangnya orde baru pada 1998, perubahan sosial dalam masyarakat terjadi dengan sangat cepat. Tak terkecuali sastra. Setelah masa itu, booming sastra memang sangat menggembirakan. Hal ini ditandai dengan kemunculan para penulis wanita. Sepeti Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu yang berani mengekspos hal-hal yang pada awalnya dianggap tabu. Juga dengan kemunculan arah sastra bergenre Islam—terlepas dari pelbagai kontroversi, namun terbukti sangat diminati oleh khalayak—yang dimotori oleh Helvy Tiana Rosa dkk, lewat Forum Lingkar Pena (FLP) yang mempunyai jejaring luas hingga luar negeri.
Juga ditandai dengan kebangkitan ‘sastra pembebasan’ yang dimotori oleh Hudan Hidayat lewat komunitas Teater Utan Kayu (TUK). Dan jangan dilupakan keberadaan sastra yang bergenre sains seperti Andrea Hirata dengan Tetralogi Laskar Pelangi yang fenomenal itu.
Terus kemanakah arah sastra Indonesia saat ini? Lagi-lagi sulit memperkirakanya. Abstrak. Yang jelas ke depan akan semakin banyak gebrakan-gebrakan baru yang akan memperkaya khazanah kesusasteraan Indonesia. Dan tentunya memberikan sumbangsih bagi peradaban. Saya teringat sebuah kata indah dari Pramoedya Ananta Toer,” Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai gelar kesarjanaan apa saja. Tapi tanpa mencintai sastra kalian hanya tinggal hewan yang pandai”.
Penulis adalah penikmat sastra, mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta.