Panggung
oleh Hasyim Zain
Orang-orang di kampungku masih mendengkur dibalik selimut. Cak Nur tertatih-tatih lewat di depan rumahku dengan tongkat bututnya. Biasanya memang sebelum fajar menyingsing, ia sudah siap dengan perangkat sholatnya menuju langgar tempat ia mengadu dan mengeluh pada Tuhannya.
Tapi tidak seperti biasa, pagi itu Cak Nur berhenti di sebuah bangunan tua tanpa penghuni. Bangunan itu adalah miliknya yang telah dihibahkan kepada karang taruna kampungku. Diam, pandangannya tajam. Tertuju pada pada ruang-ruang usang.
Pelan-palan Cak Nur memasuki bangunan itu. Di salah satu ruang ia tertahan, tanpa disadari air matanya menetes. Dilihatnya ruang yang pernah menjadi tempat menyimpan harapan, sekarang penuh dengan kertas kecoklat-coklatan berserakan dilantai. Dikumpulkan kertas-kertas itu, lalu dicarinya tulisan, tapi hilang bentuk wujudnya.
Fajar pun datang menyapa bumi dengan rona merahnya, seakan memberi kehangatan pada bangunan tua itu. Cak Nur berlalu dari ruang itu seraya melempar kertas-kertas di genggamannya ke ruang utama.
Di atas lantai berdebu, Cak Nur menggelar sajadah untuk mengeluh kembali pada Tuhannya. Sekalipun di tempat seperti itu, Cak Nur tetap bisa bermesraan dengan Tuhan.
Dihadapanya, batu besar tarhampar lebar. Batu itu, ia beli dari salah satu pamahat di Gunung Kidul yang ia siapkan sebagai sebuah panggung. Panggung untuk lahirnya sebuah karya, sebuah pertunjukan rakyat dan buah-buah kesenian lainnya.
“Entah karya siapa, itu terserah. Panggung ini bisa digunakan siapa saja,” katanya dalam sambutan hari peresmian bangunan itu.
Tapi kini, panggung itu hanya menjadi kenangan yang dilupakan oleh pemuda-pemudi kampungku.
“Tak ada karya, tak ada pertunjukkan, dan tak ada kesenian apapun yang lahir dari batu itu lagi, ” cemasnya satu waktu.
Kemudian Cak Nur beranjak meninggalkan bangunan itu. Tak lama adzan subuh diserukan oleh Pak Leman dari langgar tempat biasa ia melakukan sembayang lima waktu.
Ketika sampai di langgar, Cak Nur ketinggalan satu rakaat. Tanpa ragu ia masuk dalam jamaah. Ia ikuti gerakan imam dan para jamaah lainnya dengan patuh. Sampai mereka mengucapkan salam bersama-sama, dengan mantap ia menyempurnakan hitungan rakaatnya. Di akhir sujudnya, ia mengadu.
“Tuhanku…!!!”
Orang-orang di kampungku masih mendengkur dibalik selimut. Cak Nur tertatih-tatih lewat di depan rumahku dengan tongkat bututnya. Biasanya memang sebelum fajar menyingsing, ia sudah siap dengan perangkat sholatnya menuju langgar tempat ia mengadu dan mengeluh pada Tuhannya.
Tapi tidak seperti biasa, pagi itu Cak Nur berhenti di sebuah bangunan tua tanpa penghuni. Bangunan itu adalah miliknya yang telah dihibahkan kepada karang taruna kampungku. Diam, pandangannya tajam. Tertuju pada pada ruang-ruang usang.
Pelan-palan Cak Nur memasuki bangunan itu. Di salah satu ruang ia tertahan, tanpa disadari air matanya menetes. Dilihatnya ruang yang pernah menjadi tempat menyimpan harapan, sekarang penuh dengan kertas kecoklat-coklatan berserakan dilantai. Dikumpulkan kertas-kertas itu, lalu dicarinya tulisan, tapi hilang bentuk wujudnya.
Fajar pun datang menyapa bumi dengan rona merahnya, seakan memberi kehangatan pada bangunan tua itu. Cak Nur berlalu dari ruang itu seraya melempar kertas-kertas di genggamannya ke ruang utama.
Di atas lantai berdebu, Cak Nur menggelar sajadah untuk mengeluh kembali pada Tuhannya. Sekalipun di tempat seperti itu, Cak Nur tetap bisa bermesraan dengan Tuhan.
Dihadapanya, batu besar tarhampar lebar. Batu itu, ia beli dari salah satu pamahat di Gunung Kidul yang ia siapkan sebagai sebuah panggung. Panggung untuk lahirnya sebuah karya, sebuah pertunjukan rakyat dan buah-buah kesenian lainnya.
“Entah karya siapa, itu terserah. Panggung ini bisa digunakan siapa saja,” katanya dalam sambutan hari peresmian bangunan itu.
Tapi kini, panggung itu hanya menjadi kenangan yang dilupakan oleh pemuda-pemudi kampungku.
“Tak ada karya, tak ada pertunjukkan, dan tak ada kesenian apapun yang lahir dari batu itu lagi, ” cemasnya satu waktu.
Kemudian Cak Nur beranjak meninggalkan bangunan itu. Tak lama adzan subuh diserukan oleh Pak Leman dari langgar tempat biasa ia melakukan sembayang lima waktu.
Ketika sampai di langgar, Cak Nur ketinggalan satu rakaat. Tanpa ragu ia masuk dalam jamaah. Ia ikuti gerakan imam dan para jamaah lainnya dengan patuh. Sampai mereka mengucapkan salam bersama-sama, dengan mantap ia menyempurnakan hitungan rakaatnya. Di akhir sujudnya, ia mengadu.
“Tuhanku…!!!”