Rabu, 10 Juni 2009

Sastra Merdeka

Oleh Kenyot Adisattva

Setiap orang adalah seniman,
Dimana pun ia berada di situlah panggungnya.
Dan setiap orang pasti mempunyai karya.
(Mbah Surip)

Dalam sejarah tradisi bersastra di Nusantara, sastra lahir dan berkembang di lingkumgam elit. Bahkan pada masa kerajaan-kerajaan dulu hampir dapat dipastikan sastrawan (pujangga) adalah mereka dari golongan priyayi.

Peralihan dari zaman kerajaan ke zaman modern ternyata tidak merubah tradisi bersastra. Sastra masih tetap saja lahir dari rahim elitis dan intelektualis. Hal ini ternyata berakibat kekakuan pada karya-karya sastra. Karena lahir dari golongan elitis dan intelektualis sastra menjadi makhluk yang misterius, membingungkan, dan tidak menarik bagi golongan awam. Selama ini penggiat sastra dalam menciptakan karya sastra selalu dengan keseriusan yang berlebihan, bahkan dengan tirakat-tirakat serta perenungan yang bertubi-tubi. Keseriusan itu perlu dan baik memang. Hasilnya pun pasti akan memuaskan. Akan tetapi tidaklah bijak bila akhirnya karya sastra hanya bisa dibaca dan difahami oleh orang-orang tertentu. Bila seperti ini kejadiannya yang menjadi buruk adalah sastra tidak menjadi karya yang populis dan demokratis, justru karya sastra seakan menjadi wadah dari kesombongan intelektual.

Kesombongan yang ada akan lebih buruk lagi jika tidak memberi ruang bagi kaum awam. Itu yang terjadi. Buruk. Golongan non elitis non intelektualis seakan tidak diperbolehkan berekspresi menuangkan idenya dalam karya sastra. Ketika terlahir karya sastra dari kaum awam, maka karya tersebut tidak mendapatkan apresiasi positif, dianggap bukan karya sastra dan menyalahi kaedah kesusastraan. Padahal seharusnya sastra memberi ruang kepada siapa saja untuk dapat serta menyentuhnya.

Sangat menarik apa yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri. Ia mencoba memerdekakan kata dari makna. Ia kembalikan kata untuk menjadi dirinya sendiri. Pada keasliannya kata adalah mantera. Biarlah kata ada dan berada tanpa harus menggendong beban. Hal ini memang tidak terbukti memberi ruang bagi kaum awam untuk turut serta dalam dunia sastra, tapi setidaknya akan menjadi kampanye kemerdekaan sastra. Sudah saatnya sastra dimerdekakan dari kungkungan keseriusan yang sepaneng. Momen awal tahun di penghujung dasawarsa ini semoga menjadi awal kebangkitan. Saatnya sastra bisa muncul dan dinikmati dari dan oleh siapa pun juga. Jadikan sastra ruang untuk setiap orang bisa berkarya. Nantinya sastra akan menjadi ruang ekspresi bagi semua kalangan tanpa hirarki seperti yang selalu dibawa-bawa Mbah Surip dalam orasi-orasinya “Setiap orang adalah seniman. Dimana pun ia berada di situlah panggungnya. Dan setiap orang pasti mempunyai karya. Ha..ha..ha..ha..”

buletin sastra © 2008. Template by Dicas Blogger.

TOPO