Tiga Suara
Oleh Abraham Zakky Zulhazmi
Sebuah kotak mampu menampung seratus suara. Telah terisi sembilan puluh tujuh suara. Tiga suara lagi kotak itu penuh. Malaikat pun akan membawanya ke langit ke tujuh. Dihaturkan Tuhan.
Suara Khi.
Kamu pernah takut pada perubahan? Aku pernah. Kemarin hari. Saat An bilang telah memilih Nat. Sebagai rindunya. Padahal kami telah jadi tiga serangkai, sukar dicerai. Aku lantas membodoh-bodohkan An. Jatuh hati kenapa harus dengan sahabat sendiri?! Tapi, rasa-rasanya aku sendiri yang bodoh. Bukankah Tuhan tak pernah menciptakan cinta terlarang. Pun begitu, pasti akan ada yang berubah, berbeda dan hilang. Kalau benar jadi berpacaran, jalan berdua tentu lebih yahud daripada jalan bertiga. Nonton berdua pasti lebih top markotop. Bergandeng tangan. Mengembunkan angin. Menganginkan embun. Hmff, entah nelangsa atau prasangka yang kini mendominasi ruang gelisahku. An, bohongi sajalah hatimu itu! Nat, kenapa kau punya dada bidang dan selalu rapi jali?
Suara An.
Khi itu very very stupid! Masak gue disuruh bohong sama hati gue sendiri. Tolol kan? Secara, gue juga wanita yang punya rasa cinta. Sah-sah aja kan gue jatuh cinta dengan siapapun. Termasuk kepada Nat! Gue jadi curiga, jangan-jangan Khi itu lelaki pengecut yang takut kehilangan teman, jangan-jangan temannya cuma gue sama Nat. Tapi, meski nantinya gue jadian dengan Nat, gue janji kok Khi tetap jadi bagian dari kami bertiga. Ih… kenapa ya tadi Khi over banget ngelarang gue. Apa mungkin dia juga suka sama gue? Bodo! Duhai Nat, sang pangeran berkuda putih, dengarkanlah kidung-kidung rindu ini, lalu biarkan aku rebah di bidang dadamu. Bawa aku kemana pun kau mau.
Suara Nat.
Jomblo bagi saya sebenarnya bukan masalah. Tapi kalau teman-teman di kos terus menyudutkan saya dengan ejekan ‘jomblo berarti nggak laku’ panas juga hati saya. Apalagi dari empat orang penghuni kos, hanya saya yang belum punya cewek. Setiap cewek mereka main ke kos, saya cuma bisa menelan ludah dan mengurut dada. Ustadz saya dulu pernah berpesan, jangan pacaran sebelum kuliah selesai, nasihat itu yang terus saya pegang. Toh saya punya Khi dan An, dua sobat yang sudah saya anggap saudara sendiri. Namun, entah mengapa tadi pagi An tampak anggun sekali. Sedangkan Khi tak lagi mengasyikkan diajak ngobrol!
Sekarang kotak penuh. Tapi sayang, sayap malaikat nyangkut di tali jemuran. Kena paku. Berdarah. Kotak terlambat sampai di langit ketujuh. Tuhan ngambek!
Sebuah kotak mampu menampung seratus suara. Telah terisi sembilan puluh tujuh suara. Tiga suara lagi kotak itu penuh. Malaikat pun akan membawanya ke langit ke tujuh. Dihaturkan Tuhan.
Suara Khi.
Kamu pernah takut pada perubahan? Aku pernah. Kemarin hari. Saat An bilang telah memilih Nat. Sebagai rindunya. Padahal kami telah jadi tiga serangkai, sukar dicerai. Aku lantas membodoh-bodohkan An. Jatuh hati kenapa harus dengan sahabat sendiri?! Tapi, rasa-rasanya aku sendiri yang bodoh. Bukankah Tuhan tak pernah menciptakan cinta terlarang. Pun begitu, pasti akan ada yang berubah, berbeda dan hilang. Kalau benar jadi berpacaran, jalan berdua tentu lebih yahud daripada jalan bertiga. Nonton berdua pasti lebih top markotop. Bergandeng tangan. Mengembunkan angin. Menganginkan embun. Hmff, entah nelangsa atau prasangka yang kini mendominasi ruang gelisahku. An, bohongi sajalah hatimu itu! Nat, kenapa kau punya dada bidang dan selalu rapi jali?
Suara An.
Khi itu very very stupid! Masak gue disuruh bohong sama hati gue sendiri. Tolol kan? Secara, gue juga wanita yang punya rasa cinta. Sah-sah aja kan gue jatuh cinta dengan siapapun. Termasuk kepada Nat! Gue jadi curiga, jangan-jangan Khi itu lelaki pengecut yang takut kehilangan teman, jangan-jangan temannya cuma gue sama Nat. Tapi, meski nantinya gue jadian dengan Nat, gue janji kok Khi tetap jadi bagian dari kami bertiga. Ih… kenapa ya tadi Khi over banget ngelarang gue. Apa mungkin dia juga suka sama gue? Bodo! Duhai Nat, sang pangeran berkuda putih, dengarkanlah kidung-kidung rindu ini, lalu biarkan aku rebah di bidang dadamu. Bawa aku kemana pun kau mau.
Suara Nat.
Jomblo bagi saya sebenarnya bukan masalah. Tapi kalau teman-teman di kos terus menyudutkan saya dengan ejekan ‘jomblo berarti nggak laku’ panas juga hati saya. Apalagi dari empat orang penghuni kos, hanya saya yang belum punya cewek. Setiap cewek mereka main ke kos, saya cuma bisa menelan ludah dan mengurut dada. Ustadz saya dulu pernah berpesan, jangan pacaran sebelum kuliah selesai, nasihat itu yang terus saya pegang. Toh saya punya Khi dan An, dua sobat yang sudah saya anggap saudara sendiri. Namun, entah mengapa tadi pagi An tampak anggun sekali. Sedangkan Khi tak lagi mengasyikkan diajak ngobrol!
Sekarang kotak penuh. Tapi sayang, sayap malaikat nyangkut di tali jemuran. Kena paku. Berdarah. Kotak terlambat sampai di langit ketujuh. Tuhan ngambek!