Anak Manis
Oleh: Etgar Keret
Anak Manis mengetuk pintu kamar. Kedua orang tuanya terlalu sibuk bertengkar untuk menanggapi. Setelah mengetuk beberapa kali lagi, Anak Manis masuk begitu saja. "Kesalahan," kata Ayah kepada Ibu, "itulah kita, kekeliruan, seperti dalam buku panduan tentang hal-hal yang mestinya tidak dilakukan. Itulah kita, kukatakan sekali lagi, kesalahan, dengan 'Tidak' berukuran raksasa di bagian bawah dan wajah tercoreng tanda silang," "Kau mau aku bilang apa?" tukas Ibu, "aku tak mau menyesal nantinya." "Katakan saja!" Ayah menggertak. "Buat apa menunggu nanti kalau kau bisa menyesal sekarang?" Anak Manis menenteng model pesawat di tangan kanannya. Dia merakitnya sendiri. Petunjuk perakitan tertulis dalam bahasa yang tidak dia pahami, namun dengan bantuan skema yang dilengkapi berbagai tanda panah, Anak Manis—dia memiliki tangan yang terampil, kata ayahnya—berhasil memahami dan merakit model itu tanpa bantuan orang dewasa. "Dulu aku selalu tertawa," kata Ibu, "setiap hari, aku tertawa banyak sekali. Dan sekarang..." Perempuan itu mengelus rambut anaknya dengan kikuk, "dan sekarang tidak lagi. Itulah soalnya. Mengerti?" "Itu soalnya, perempuan?!" raung Ayah. "Cuma itu? Aku tak mau menyesal nantinya yang hebat itu adalah sulit ketawa? Pukimaknya!"
"Pesawatmu keren sekali," ujar Ibu sambil menolehkan wajah kepada Anak Manis dalam gerakan yang dibuat-buat. "Kenapa kau tidak coba menerbangkannya?" "Bolehkah?" tanya Anak Manis. "Tentu boleh." Ibu tersenyum dan kembali mengelus rambut Anak Manis sambil merunduk, seperti orang mengelus kepala anjing. "Berapa lama aku boleh main di luar, Bu?" tanya Anak Manis. "Selama yang kau mau," sembur Ayah, "Dan kalau kau senang di luar, kau tak perlu pulang sama sekali. Cukup sesekali mengangkat telepon supaya ibumu tidak cemas." Ibu sekonyong-konyong bangkit dan menempeleng suaminya sekuat yang ia bisa. Tapi aneh, tamparan itu justru membikin Ayah semringah, dan sebaliknya, Ibu malah mulai menangis. "Pergilah, Nak," kata Ibu kepada Anak Manis di sela-sela sesenggukannya, "Mainlah selagi langit terang dan pulanglah sebelum malam turun." Mungkin wajah Ayah keras seperti batu, pikir Anak Manis sembari berjalan menuruni tangga, dan karena itu tanganmu akan sakit jika kau menamparnya.
Anak Manis melontarkan model pesawatnya setinggi yang ia bisa. Pesawat itu berputar sekali, meluncur rendah, lalu menabrak pancuran minum. Sayapnya jadi sedikit bengkok dan Anak Manis berusaha keras meluruskannya. "Wah," kata bocah perempuan berwajah bintik-bintik yang tidak akan ia sadari kehadirannya jika tak mengeluarkan suara—bocah perempuan itu mengulurkan lengannya yang juga penuh bintik. "Pesawatmu keren. Boleh kucoba?" "Ini bukan pesawat," koreksi Anak Manis, "ini cuma model, pesawat, sih, ada mesinnya." "Ya, mari, pinjami aku," Bocah Perempuan memberi perintah sambil tetap mengulurkan tangannya, "jangan pelit begitulah!" "Tapi sayapnya mesti kubetulkan dulu," kata Anak Manis, "ini, lihat, bengkok begini." "Kau medit sekali," timpal Bocah Perempuan, "kuharap nasib buruk segera menimpamu." Kening Bocah Perempuan berkerut, ia tampak memikirkan sesuatu yang lebih spesifik. Ketika gagasan itu tiba, ia menyeringai penuh kepuasan: "Kuharap Mamamu mati. Ya, kuharap dia meninggal dunia. Amin." Anak Manis tidak peduli, dia memang diajarkan untuk cuek saja. Meski jauh lebih tinggi daripada si pengganggu, dan kalau mau, bisa saja mengayunkan tamparan (pasti sakit sekali karena muka bintik-bintik bocah perempuan itu jelas tidak terbikin dari batu), Anak Manis tidak melakukan apa-apa. Dia tidak menendang, tidak melempari dengan kerikil, bahkan tidak menyumpahi balik bocah itu, karena ia anak manis yang sopan. "Dan semoga Papamu ikut mati," tambah Bocah Perempuan sambil berlalu.
Anak Manis meluncurkan model pesawatnya beberapa kali lagi. Pada lemparan terbaik, model itu berputar tiga kali di udara sebelum akhirnya mendarat. Matahari tampaknya juga mulai mendarat, dan langit di sekitarnya menjadi merah dan semakin merah. Ayah pernah bilang, jika kau memandangi matahari lama-lama tanpa berkedip, matamu bisa buta, itulah mengapa Anak Manis berhati-hati dan memastikan kedua matanya tetap berkedip saban dua detik. Namun bahkan saat menutup mata, ke-merah-an langit yang menyala-nyala terasa memenuhi kepalanya. Hal itu menimbulkan kesan ganjil dan Anak Manis ingin tahu lebih banyak; tapi ia juga tahu, Ibu pasti khawatir jika ia terlambat pulang. "Matahari akan terbit lagi dan lagi," pikir Anak Manis sembari memungut model pesawatnya, "dan aku selalu tepat waktu."
Ketika Anak Manis masuk rumah, dia melihat Ibu menangis di ruang tamu. Tapi Ayah tidak di sana. Kata Ibu, Ayah di kamar, tidur, ia kebagian shift malam dan mesti menyiapkan tenaga. Lalu Ibu membuatkan makan malam untuk Anak Manis. Anak Manis mendorong pintu kamar orang tuanya yang terbuka sedikit. Ayah tengkurap di ranjang dengan pakaian lengkap, bahkan masih mengenakan sepatu, tapi matanya tidak terpejam. Saat Anak Manis mengintip apa yang ia kerjakan, Ayah bertanya tanpa mengangkat kepala dari kasur, "Bagaimana model pesawatnya?" "Baik," jawab Anak Manis, "Benar-benar baik," tambahnya seakan-akan perkataan sebelumnya tidak cukup. "Ibumu dan aku kadang-kadang bertengkar dan mengatakan hal-hal kejam untuk melukai satu sama lain," ujar Ayah, menatap lantai, lalu berpaling pada Anak Manis, "tapi kau tahu aku selalu menyayangimu, kan? Selalu. Tidak peduli kata orang. Kau tahu, kan?" "Ya." Anak manis mengangguk, keluar kamar, dan menutup pintu di belakangnya. "Ya, aku tahu. Terima kasih."
Dialihbahasakan Dea Anugrah dari “The Polite Little Boy” (Suddenly, a Knock on the Door [Farrar, Straus, and Giroux, 2010]) karya Etgar Keret. Terjemahan dari bahasa Hebrew ke bahasa Inggris oleh Miriam Shlesinger.