Minggu, 11 Oktober 2009

Menikmati Sastra

Amelia Fitriani

Sastra. Apa yang pertama kali muncul di benak anda ketika mendengar kata itu? Kata yang cukup familiar kita dengar dan temui pada pelajaran bahasa Indonesia sejak kita duduk di bangku SD atau SMP. Saya yakin definisi yang keluar dari masing-masing kepala akan berbeda satu dan lainnya.

Bagi saya sendiri, sastra merupakan pengikatan pikiran dalam bentuk bahasa. Tidak jarang sastrawan menyembunyikan makna dibalik bahasa-bahasa yang tidak mudah ditafsirkan, lebih-lebih oleh kalangan yang awam dengan satra. Hal itulah yang saya rasa merupakan salah satu faktor mengapa banyak pembaca kurang meminati karya sastra dan menganggapnya membosankan. Bahkan ketika saya duduk dibangku SMA, pada pelajaran Bahasa Indonesia yang membahas mengenai karya-karya sastra , tidak sedikit dari teman-teman kelas saya tidur diam-diam ataupun terlihat ngantuk. Membosankan dan tidak paham, jawab mereka ketika saya tanya mengenai alasan mereka.

Pemahaman bahasa yang sulit dari karya sastra yang terkadang menggunakan bahasa dan alur cerita yang tidak biasa menjadi salah satu 'penyaring' dari peminat sastra itu sendiri. Padahal jika dicerna lebih lembut, karya sastra sesungguhnya merupakan perwujudan kritik maupun penafsiran atas kehidupan dan seluk beluk yang terjadi di dalamnya. Lantas dibungkus dan dikemas sedemikian rupa dengan menggunakan kata. Karya-karya sastra yang lahir dari goresan pena Sutardji Calzoum Bahri, Afrizal Malna, ataupun Djaenar Maesa Ayu merupakan sebagian kecil dari banyak sastrawan yang membangun konstruksi bahasa sedemikian rupa sehingga mampu menyimpan makna di balik bahasa yang tidak mudah untuk dicerna, yang bagi sebagian orang akan terasa membosankan untuk dibaca karena sulit dipahami maknanya.

Lantas sebuah pertanyaan muncul di pikiran saya: apakah sebuah karya sastra lahir hanya untuk difahami dan dimaknai?. Lalu bagaimana bila seseorang tidak dapat memaknai sebuah karya sastra, apakah ia dikatakan gagal untuk menikmati karya sastra tersebut?

Saya menemukan jawabanya dari seorang kawan saya, Kenyot Adisattva. Beliau pernah mengatakan pada saya bahwa “Kita tidak harus selalu memahami sebuah karya sastra. Tapi ketika kita mampu menikmati sebuah karya sastra yang kita baca, itulah sastra sebenarnya.”

Begitulah sastra, ketika orang meraba dan terus meraba makna dari sebuah karya sastra, di situlah keindahanya, tidak peduli ia menemukanya atau tidak. Kata 'nikmat' dan 'menikmati' bagi penikmat sastra ditemukan dalam proses mendapatkan makna tersebut.

Penulis adalah mahasiswi semester 3 jurusan HI FEIS UIN Jakarta.

buletin sastra © 2008. Template by Dicas Blogger.

TOPO