Telimpuh: Kitab Puisi Yang Menawarkan Pembaruan
Arief Mahmudi
Judul buku : Telimpuh
Penulis : Hasan Aspahani
Penerbit : Koekoesan
Cetakan : I, Juni 2009
Tebal : 107 + xiii halaman
Harga : Rp. 29.500
Nama Hasan Aspahani (HA) tentu sudah tidak asing bagi para penikmat karya sastra negeri ini. Karya-karyanya, terutama puisi dan cerita pendek, kerap tampil di halaman sastra sejumlah surat kabar nasional maupun daerah. Dan, bagi mereka yang ngêh saat membaca karya-karya HA, tentu akan menangkap “sesuatu” yang membuat karya-karyanya terasa berbeda dengan penulis lainnya. Apakah gerangan “sesuatu” itu?
“Sesuatu” itu ialah pembaruan. Pembaruan yang dimaksud tidak hanya berkisar pada bentuk dan tema, namun juga pada gaya bertutur. Kita bisa baca, misalnya, pada cerpen “Sejumlah Fiksi Mini” (Koran Tempo, 1 Maret 2009) dan “Bung Badut” (Koran Tempo, 10 Mei 2009).
Itu pada cerpen. Lantas, bagaimana dengan karya puisinya? Adakah pembaruan di sana? Jawabnya: ya. Dalam Telimpuh, yang merupakan buku kumpulan puisi keduanya setelah Orgasmaya (2007), kita dapat menemukan pembaruan-pembaruan itu.
Lihatlah, misalnya, dalam sajak-sajak yang terdapat pada bab kedua, “Kamus Empat Kata”. Sajak-sajak dalam bab ini sangat unik. HA menulis puisi seperti menjelaskan makna yang terkandung dalam entri sebuah kamus saja. Berikut penulis kutipkan bait pertama sebuah sajak berjudul “Kamus Empat Kata Berhuruf Awal T, 2”:
TELIMPUH: aku hendak terus bersimpuh, sehingga lumpuh. Sampai sembah ini kau sentuh. “Telah aku lewatkan beribu subuh, telah aku lawatkan duka yang patuh,” seperti zikir, resital syair, jatuh air tangis membulir-bulir. Aku hendak terus bersimpuh, hingga menguap semua peluh, di tubuh.
Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada penyair sebelumnya yang menulis, meminjam istilah Haris Firdaus, “sajak kamus” seperti yang telah dikutip di atas. Barangkali inilah pembuktian HA sebagaimana yang ia tuturkan pada “Pengantar Penulis” yang terdapat di halaman awal buku ini: “Tetapi, sajak juga sebuah kemudian. (…) Sajak yang kemudian, adalah sajak yang terus-menerus menawarkan pembaruan dan kebaruan.”
Sejumlah esais telah memberi komentar terhadap buku ini. Haris Firdaus, sebagaimana yang dimuat pada bagian penutup buku ini, menyebut pembacaan Telimpuh ibarat “menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah”. Adapun Khrisna Pabichara, dalam sebuah esainya di Batam Pos, menyebutnya sebagai “sehimpun sajak yang menciptakan ruang meditasi, tempat kita bisa menegasi rupa-rupa pertanyaan, juga jawaban”.
Peresensi adalah mahasiswa FITK/PAI/Konsentrasi Pemikiran. Pegiat sastra di Komunitas Sastra SENJAKALA, Ciputat.
Penulis : Hasan Aspahani
Penerbit : Koekoesan
Cetakan : I, Juni 2009
Tebal : 107 + xiii halaman
Harga : Rp. 29.500
Nama Hasan Aspahani (HA) tentu sudah tidak asing bagi para penikmat karya sastra negeri ini. Karya-karyanya, terutama puisi dan cerita pendek, kerap tampil di halaman sastra sejumlah surat kabar nasional maupun daerah. Dan, bagi mereka yang ngêh saat membaca karya-karya HA, tentu akan menangkap “sesuatu” yang membuat karya-karyanya terasa berbeda dengan penulis lainnya. Apakah gerangan “sesuatu” itu?
“Sesuatu” itu ialah pembaruan. Pembaruan yang dimaksud tidak hanya berkisar pada bentuk dan tema, namun juga pada gaya bertutur. Kita bisa baca, misalnya, pada cerpen “Sejumlah Fiksi Mini” (Koran Tempo, 1 Maret 2009) dan “Bung Badut” (Koran Tempo, 10 Mei 2009).
Itu pada cerpen. Lantas, bagaimana dengan karya puisinya? Adakah pembaruan di sana? Jawabnya: ya. Dalam Telimpuh, yang merupakan buku kumpulan puisi keduanya setelah Orgasmaya (2007), kita dapat menemukan pembaruan-pembaruan itu.
Lihatlah, misalnya, dalam sajak-sajak yang terdapat pada bab kedua, “Kamus Empat Kata”. Sajak-sajak dalam bab ini sangat unik. HA menulis puisi seperti menjelaskan makna yang terkandung dalam entri sebuah kamus saja. Berikut penulis kutipkan bait pertama sebuah sajak berjudul “Kamus Empat Kata Berhuruf Awal T, 2”:
TELIMPUH: aku hendak terus bersimpuh, sehingga lumpuh. Sampai sembah ini kau sentuh. “Telah aku lewatkan beribu subuh, telah aku lawatkan duka yang patuh,” seperti zikir, resital syair, jatuh air tangis membulir-bulir. Aku hendak terus bersimpuh, hingga menguap semua peluh, di tubuh.
Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada penyair sebelumnya yang menulis, meminjam istilah Haris Firdaus, “sajak kamus” seperti yang telah dikutip di atas. Barangkali inilah pembuktian HA sebagaimana yang ia tuturkan pada “Pengantar Penulis” yang terdapat di halaman awal buku ini: “Tetapi, sajak juga sebuah kemudian. (…) Sajak yang kemudian, adalah sajak yang terus-menerus menawarkan pembaruan dan kebaruan.”
Sejumlah esais telah memberi komentar terhadap buku ini. Haris Firdaus, sebagaimana yang dimuat pada bagian penutup buku ini, menyebut pembacaan Telimpuh ibarat “menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah”. Adapun Khrisna Pabichara, dalam sebuah esainya di Batam Pos, menyebutnya sebagai “sehimpun sajak yang menciptakan ruang meditasi, tempat kita bisa menegasi rupa-rupa pertanyaan, juga jawaban”.
Peresensi adalah mahasiswa FITK/PAI/Konsentrasi Pemikiran. Pegiat sastra di Komunitas Sastra SENJAKALA, Ciputat.