Percayalah
: untuk orang yang paling aku cintai di dunia ini
dan untuk mereka yang tak mau memahami
oleh: Nadd Chafsin
Sejak Ayah meninggal, aku adalah satu-satunya orang yang selalu ada di sisinya. Bukan hanya sebagai putri semata wayangnya, namun juga sahabatnya.
Ibu bukan wanita lemah. Tak pernah aku melihat air mata mengaliri wajahnya. Hanya saja di sepertiga malam aku sering mendengar isak tangisnya di antara sujud panjang.
Suatu hari, sepulang dari kampus aku mampir di warung Mbak Mah untuk membeli camilan. Di sana aku melihat Mbak Mah tengah berbincang dengan dua orang ibu yang sepertinya baru pulang dari pasar. Tampaknya mereka tak menyadari keberadaanku.
Aku sibuk memilih camilan. Telingaku menangkap sebuah pembicaraan.
“Ternyata dia sering keluar malam sama bos-bos berdasi,” kata Mbak Mah. Kedua ibu dari pasar itu mengangguk.
“Padahal Bu Haji, tapi kok begitu ya?” ujar ibu yang lain.
Mendengar kata “Bu Haji” aku mempertajam pendengaranku.
“Nggak tau tuh Bu Haji Nunik, yang seperti itu kan, kata Ustadz Bayu, zinah namanya. Tampang boleh alim, tapi hatinya siapa yang tau.”
Tubuhku bergetar mendengar nama itu. Bu Haji Nunik. Nama Ibuku. Tanpa sadar tubuhku goyah dan menjatuhkan toples-toples yang ada di sekitarku. Ketiga orang yang membicarakan ibuku tadi kaget dan menoleh ke arahku yang berdiri kaku dengan wajah yang basah.
Aku berlalu dengan menunduk. Bukannya aku malu. Aku juga tidak takut. Tapi luka yang mereka sayatkan di hatiku, teramat perih.
Aku percaya Ibuku bukanlah seperti perempuan yang tadi mereka ceritakan. Pernah suatu malam Ibu mengajakku bicara di kamar mungil kami.
”Ibu tahu semua yang mereka katakan dan kamu berat menanggung ini.” Ibu memelukku. Aku tak bergeming.
”Kamu marah pada ibu? Maafkan ibu, Nak.”
Perih. Aku mengangguk. Kemudian Ibu menceritakan sebuah rahasia yang selama ini ia simpan sendirian.
”Ibu punya hutang, jumlahnya tidak sedikit. Tidak akan sanggup Ibu membayarnya walaupun Ibu harus bekerja hingga akhir hayat Ibu.”
Aku terperosok jauh ke dalam lubang yang teramat gelap. Hampa.
”Tak perlu kamu pikirkan. Ibu sudah mempunyai pilihan. Ibu tengah menjalin kisah dengan rekan bisnis Ibu. Ibu akan segera menikah dengannya setelah bisnis kami sukses. Dia berjanji akan membantu Ibu dalam menyelesaikan semua masalah Ibu.”
”Aku hempaskan tubuhku dalam dekapan Ibu yang mulai terisak. Aku tak sanggup melihat airmata itu.
”Percaya. Hanya itu yang Ibu butuhkan saat ini. Percayalah.”
Ya. Semua keajaiban akan datang jika kita mempercayainya.
Desember 2009, Dalam Luka
Ibu Dalam Cerita
dan untuk mereka yang tak mau memahami
oleh: Nadd Chafsin
Sejak Ayah meninggal, aku adalah satu-satunya orang yang selalu ada di sisinya. Bukan hanya sebagai putri semata wayangnya, namun juga sahabatnya.
Ibu bukan wanita lemah. Tak pernah aku melihat air mata mengaliri wajahnya. Hanya saja di sepertiga malam aku sering mendengar isak tangisnya di antara sujud panjang.
Suatu hari, sepulang dari kampus aku mampir di warung Mbak Mah untuk membeli camilan. Di sana aku melihat Mbak Mah tengah berbincang dengan dua orang ibu yang sepertinya baru pulang dari pasar. Tampaknya mereka tak menyadari keberadaanku.
Aku sibuk memilih camilan. Telingaku menangkap sebuah pembicaraan.
“Ternyata dia sering keluar malam sama bos-bos berdasi,” kata Mbak Mah. Kedua ibu dari pasar itu mengangguk.
“Padahal Bu Haji, tapi kok begitu ya?” ujar ibu yang lain.
Mendengar kata “Bu Haji” aku mempertajam pendengaranku.
“Nggak tau tuh Bu Haji Nunik, yang seperti itu kan, kata Ustadz Bayu, zinah namanya. Tampang boleh alim, tapi hatinya siapa yang tau.”
Tubuhku bergetar mendengar nama itu. Bu Haji Nunik. Nama Ibuku. Tanpa sadar tubuhku goyah dan menjatuhkan toples-toples yang ada di sekitarku. Ketiga orang yang membicarakan ibuku tadi kaget dan menoleh ke arahku yang berdiri kaku dengan wajah yang basah.
Aku berlalu dengan menunduk. Bukannya aku malu. Aku juga tidak takut. Tapi luka yang mereka sayatkan di hatiku, teramat perih.
Aku percaya Ibuku bukanlah seperti perempuan yang tadi mereka ceritakan. Pernah suatu malam Ibu mengajakku bicara di kamar mungil kami.
”Ibu tahu semua yang mereka katakan dan kamu berat menanggung ini.” Ibu memelukku. Aku tak bergeming.
”Kamu marah pada ibu? Maafkan ibu, Nak.”
Perih. Aku mengangguk. Kemudian Ibu menceritakan sebuah rahasia yang selama ini ia simpan sendirian.
”Ibu punya hutang, jumlahnya tidak sedikit. Tidak akan sanggup Ibu membayarnya walaupun Ibu harus bekerja hingga akhir hayat Ibu.”
Aku terperosok jauh ke dalam lubang yang teramat gelap. Hampa.
”Tak perlu kamu pikirkan. Ibu sudah mempunyai pilihan. Ibu tengah menjalin kisah dengan rekan bisnis Ibu. Ibu akan segera menikah dengannya setelah bisnis kami sukses. Dia berjanji akan membantu Ibu dalam menyelesaikan semua masalah Ibu.”
”Aku hempaskan tubuhku dalam dekapan Ibu yang mulai terisak. Aku tak sanggup melihat airmata itu.
”Percaya. Hanya itu yang Ibu butuhkan saat ini. Percayalah.”
Ya. Semua keajaiban akan datang jika kita mempercayainya.
Desember 2009, Dalam Luka