Ibu Dalam Cerita
oleh: Abraham Zakky Zulhazmi
Ibu kerap kali menjadi tema sentral dalam sebuah cerita. Coba tengok dongeng Sangkuriang yang berkisah tentang seorang ibu yang hampir dinikahi anak kandungnya sendiri. Juga -yang paling masyhur- kisah Maling Kundang: cerita klasik seorang anak durhaka yang dikutuk menjadi batu oleh ibunya. Pada kisah para nabi pun, sosok ibu tampil sebagai figur yang tangguh dan terkadang heroik. Perhatikan kisah Maryam yang melahirkan Isa tanpa ayah. Betapa kuatnya Maryam menahan terpaan gunjang-gunjing sekitar perihal kelahiran Isa. Simaklah pula keteguhan hati Siti Hajar berlarian Sofa-Marwa demi mencari air untuk Ismail. Atau keputusan dilematis ibu Musa melepas bayi merahnya pada deras aliran sungai Nil.
Adapun pada Teh Hangat kali ini, cerpen karya Nadd Hafsin berjudul Percayalah membidik tema ibu dan kepercayaan. Pertama-tama, hal menarik yang perlu dicermati adalah bahwasannya cerpen tersebut adalah sebuah ode, cerpen persembahan. Ditujukan untuk orang yang paling aku cintai di dunia ini sekaligus untuk mereka yang tak mau memahami. Tampak kontradiktif memang. Di satu sisi cerpen dipersembahkan untuk orang yang dicintai (dalam konteks ini kemungkinan adalah ibu) namun juga untuk orang yang tidak disukai (yang tak mau memahami keadaan).
Secara utuh cerpen Percayalah bercerita tentang seorang perempuan (mahasiswi) yatim yang musti berjuang melawan rumpi ibu-ibu tetangga mengenai ibu yang kabarnya sering keluar malam bersama seorang lelaki. Di mana puncaknya si anak mendengar gunjingan ibu-ibu di warung tak jauh dari rumahnyaa. Cerita ditutup dengan pengakuan ibu yang mengejutkan bahwa ia akan menikah lagi. Ia butuh dukungan moral dari anaknya. Maka lahirlah satu kata: percayalah!
Cerpen tersebut sebenarnya sangat mungkin untuk dieksplorasi lebih lanjut menjadi cerpen panjang yang menarik. Namun, di sinilah keunikan serta tantangan menulis cerpen pada kolom Teh Hangat. Penulis bukan disekat kreatifitasnya ketika harus menulis cerpen 1 halaman, justru kepiawaian penulis untuk mencipta cerpen yang padat diuji di sini. Pada cerpen ini belum terlihat kemampuan Nadd Chafsin mengolah mini-cerpen yang padat. Ketidakpadatan ini misalnya terlihat pada percakapan atau petuah ibunya di akhir cerita yang terkesan bertele-tele.
Di kemudian hari, penulisan cerpen ala Teh Hangat boleh jadi menjadi suatu genre tersendiri. Apabila muncul cerpen madzhab Kompas atau madzhab Tempo, tidak menutup kemungkinan akan muncul cerpen madzhab Teh Hangat. Kita bisa menyebutnya cerpen satu halaman. Ini bisa menjadi alternatif baru dalam penulisan cerpen. Tak perlu panjang lebar, cukup satu halaman.
Kembali pada cerpen Nadd Chafsin, pada dasarnya cerpen ini telah mengamini hierarchy of need theory yang dikemukakan Abraham Maslow. Dikatakan bahwa manusia setelah kebutuhan untuk dicintai telah diadapatkan, maka pada tingkatan lebih atas ia memiliki kebutuhan untuk dihargai, untuk dipercayai. Itulah yang coba diejawantahkan dalam sosok ibu pada cerita tersebut. Tiba-tiba timbul satu pertanyaan dalam benak saya: Dapatkah kita terima satu pernyataan, maha benar ibu dengan segala perkataan dan tindakannya?
Penulis aktif di Tongkrongan Sastra Senjakala dan Komunitas Roda Hijau.
Ibu kerap kali menjadi tema sentral dalam sebuah cerita. Coba tengok dongeng Sangkuriang yang berkisah tentang seorang ibu yang hampir dinikahi anak kandungnya sendiri. Juga -yang paling masyhur- kisah Maling Kundang: cerita klasik seorang anak durhaka yang dikutuk menjadi batu oleh ibunya. Pada kisah para nabi pun, sosok ibu tampil sebagai figur yang tangguh dan terkadang heroik. Perhatikan kisah Maryam yang melahirkan Isa tanpa ayah. Betapa kuatnya Maryam menahan terpaan gunjang-gunjing sekitar perihal kelahiran Isa. Simaklah pula keteguhan hati Siti Hajar berlarian Sofa-Marwa demi mencari air untuk Ismail. Atau keputusan dilematis ibu Musa melepas bayi merahnya pada deras aliran sungai Nil.
Adapun pada Teh Hangat kali ini, cerpen karya Nadd Hafsin berjudul Percayalah membidik tema ibu dan kepercayaan. Pertama-tama, hal menarik yang perlu dicermati adalah bahwasannya cerpen tersebut adalah sebuah ode, cerpen persembahan. Ditujukan untuk orang yang paling aku cintai di dunia ini sekaligus untuk mereka yang tak mau memahami. Tampak kontradiktif memang. Di satu sisi cerpen dipersembahkan untuk orang yang dicintai (dalam konteks ini kemungkinan adalah ibu) namun juga untuk orang yang tidak disukai (yang tak mau memahami keadaan).
Secara utuh cerpen Percayalah bercerita tentang seorang perempuan (mahasiswi) yatim yang musti berjuang melawan rumpi ibu-ibu tetangga mengenai ibu yang kabarnya sering keluar malam bersama seorang lelaki. Di mana puncaknya si anak mendengar gunjingan ibu-ibu di warung tak jauh dari rumahnyaa. Cerita ditutup dengan pengakuan ibu yang mengejutkan bahwa ia akan menikah lagi. Ia butuh dukungan moral dari anaknya. Maka lahirlah satu kata: percayalah!
Cerpen tersebut sebenarnya sangat mungkin untuk dieksplorasi lebih lanjut menjadi cerpen panjang yang menarik. Namun, di sinilah keunikan serta tantangan menulis cerpen pada kolom Teh Hangat. Penulis bukan disekat kreatifitasnya ketika harus menulis cerpen 1 halaman, justru kepiawaian penulis untuk mencipta cerpen yang padat diuji di sini. Pada cerpen ini belum terlihat kemampuan Nadd Chafsin mengolah mini-cerpen yang padat. Ketidakpadatan ini misalnya terlihat pada percakapan atau petuah ibunya di akhir cerita yang terkesan bertele-tele.
Di kemudian hari, penulisan cerpen ala Teh Hangat boleh jadi menjadi suatu genre tersendiri. Apabila muncul cerpen madzhab Kompas atau madzhab Tempo, tidak menutup kemungkinan akan muncul cerpen madzhab Teh Hangat. Kita bisa menyebutnya cerpen satu halaman. Ini bisa menjadi alternatif baru dalam penulisan cerpen. Tak perlu panjang lebar, cukup satu halaman.
Kembali pada cerpen Nadd Chafsin, pada dasarnya cerpen ini telah mengamini hierarchy of need theory yang dikemukakan Abraham Maslow. Dikatakan bahwa manusia setelah kebutuhan untuk dicintai telah diadapatkan, maka pada tingkatan lebih atas ia memiliki kebutuhan untuk dihargai, untuk dipercayai. Itulah yang coba diejawantahkan dalam sosok ibu pada cerita tersebut. Tiba-tiba timbul satu pertanyaan dalam benak saya: Dapatkah kita terima satu pernyataan, maha benar ibu dengan segala perkataan dan tindakannya?
Penulis aktif di Tongkrongan Sastra Senjakala dan Komunitas Roda Hijau.