Sastra Santri
oleh: Moham Fahdi
“Untuk sekedar melihat realita, dewasa ini banyak sudah macam-macam karya sastra yang terpublikasikan di masyarakat dan sebagian dari macam, adalah sastra pesantren, bahkan bisa dikatakan karya sastra ini sedang meledak. Tapi, sastra pesantren itu sesungguhnya telah hadir sejak masuknya Islam di Indonesia sekitar abad ke-12 sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dari sastra Indonesia” (Kompas Cyber Media, Rabu, 29 September 2004, www.kompas.com).
Berbicara sastra pesantren, tentu yang terfikirkan pertama kali adalah sastra yang mengekplorasi segala term akan pesantren; pondok, kyai, santri, kitab kuning, ngaji. Yang demikian itu tidahlah hal yang salah, tapi kurang untuk dikatakan benar. Karena sastra pesantren tidaklah hanya mencakup hal-hal diatas yang nantinya cuma menjadikan pesantren sebagai latar, tapi juga mengekplorasi, meminjam istilah Gus Dur, “kejiwaan pesantren”, misalnya cerpen A.A. Navis “Robohnya Surau Kami,” yang menggambarkan fatalisme yang melanda kehidupan beragama, yang merupakan problematika khas pesantren. Walaupun tidak menutup kemungkinan adanya sastra pesantren seperti yang pertama tadi atau bisa dikatakan sebagai sastra pesantren pop. Sebut saja Santri Semelekete (Ma’rifatun Baroroh), Bola-Bola Santri (Shachree M Daroini), Kidung Cinta Puisi Pegon (Pijer Sri Laswiji), Dilarang Jatuh Cinta (S. Tiny), Santri Baru Gede (Zaki Zarung), Salahkah Aku Mencintaimu (Ahmad Fazlur Rosyad).
Adapula beberapa karya sastra pesantren modern yang kadang sering dianggap paradoksal. Yaitu karya yang mungkin bagi sebagian orang bukan merupakan karya “sastra pesantren” tetapi lebih sebagai karya seorang santri. Yaitu karya Ahmad Tohari dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya, Geni Jora-nya Abidah El-Khaleiqy atau Kuda Ranjang karya penyair muda Binhad Nurrahmat. Inilah yang menunjukkan bahwa satu persatu mulai terlihat adanya keliaran, muntahan-muntahan kegelisahan untuk merambah ke sisi-sisi lain. Sastra pesantren berada dalam kegelisahan yang panas.
Karena sepertinya yang menyebabkan ledakan karya sastra tidak lain sebagai pemberontakan terhadap rigiditas dalam menjalankan syari’at, skripturalisme, tekstualisme, otoritarianisme fiqih minded yang terkadang membelenggu kreativitas berbudaya dan ‘buta konteks’. Kesusasteraan pesantren meronta-ronta dalam hasrat yang menggebu untuk senantiasa menghidupkan dan membumikan nilai-nilai estetika sebagai ejawantahan atas prinsip; “Tuhan itu indah dan mencintai keindahan” (Al Hadits).
Pada dasarnya, mau bagaimanpun juga rumusan dari sastra pesantren, adalah hal yang paling penting untuk dikeluarkan bukanlah melulu murni pesantren, harus segala yang berbau pesantren. Tetapi lebih luas dari itu, yakni eksplorasi nilai-nilai yang ditradisikan di pesantren. Bagaimana nilai pesantren tanggap terhadap perubahan zaman, bagaimana pesantren merespon kehidupan yang telah sedemikian mengglobal di luar sana. Toh, sastra sudah semestinya meluas seluas semesta ini dan bukan hanya terkungkung di pesantren an sich.
Penulis adalah penikmat sastra, alumni pesantren Raudhatut Thalibien. Mahasiswa FSH/Mu’ammalat/PS UIN Jakarta. Bergiat di Tongkrongan Sastra Senjakala.
“Untuk sekedar melihat realita, dewasa ini banyak sudah macam-macam karya sastra yang terpublikasikan di masyarakat dan sebagian dari macam, adalah sastra pesantren, bahkan bisa dikatakan karya sastra ini sedang meledak. Tapi, sastra pesantren itu sesungguhnya telah hadir sejak masuknya Islam di Indonesia sekitar abad ke-12 sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dari sastra Indonesia” (Kompas Cyber Media, Rabu, 29 September 2004, www.kompas.com).
Berbicara sastra pesantren, tentu yang terfikirkan pertama kali adalah sastra yang mengekplorasi segala term akan pesantren; pondok, kyai, santri, kitab kuning, ngaji. Yang demikian itu tidahlah hal yang salah, tapi kurang untuk dikatakan benar. Karena sastra pesantren tidaklah hanya mencakup hal-hal diatas yang nantinya cuma menjadikan pesantren sebagai latar, tapi juga mengekplorasi, meminjam istilah Gus Dur, “kejiwaan pesantren”, misalnya cerpen A.A. Navis “Robohnya Surau Kami,” yang menggambarkan fatalisme yang melanda kehidupan beragama, yang merupakan problematika khas pesantren. Walaupun tidak menutup kemungkinan adanya sastra pesantren seperti yang pertama tadi atau bisa dikatakan sebagai sastra pesantren pop. Sebut saja Santri Semelekete (Ma’rifatun Baroroh), Bola-Bola Santri (Shachree M Daroini), Kidung Cinta Puisi Pegon (Pijer Sri Laswiji), Dilarang Jatuh Cinta (S. Tiny), Santri Baru Gede (Zaki Zarung), Salahkah Aku Mencintaimu (Ahmad Fazlur Rosyad).
Adapula beberapa karya sastra pesantren modern yang kadang sering dianggap paradoksal. Yaitu karya yang mungkin bagi sebagian orang bukan merupakan karya “sastra pesantren” tetapi lebih sebagai karya seorang santri. Yaitu karya Ahmad Tohari dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya, Geni Jora-nya Abidah El-Khaleiqy atau Kuda Ranjang karya penyair muda Binhad Nurrahmat. Inilah yang menunjukkan bahwa satu persatu mulai terlihat adanya keliaran, muntahan-muntahan kegelisahan untuk merambah ke sisi-sisi lain. Sastra pesantren berada dalam kegelisahan yang panas.
Karena sepertinya yang menyebabkan ledakan karya sastra tidak lain sebagai pemberontakan terhadap rigiditas dalam menjalankan syari’at, skripturalisme, tekstualisme, otoritarianisme fiqih minded yang terkadang membelenggu kreativitas berbudaya dan ‘buta konteks’. Kesusasteraan pesantren meronta-ronta dalam hasrat yang menggebu untuk senantiasa menghidupkan dan membumikan nilai-nilai estetika sebagai ejawantahan atas prinsip; “Tuhan itu indah dan mencintai keindahan” (Al Hadits).
Pada dasarnya, mau bagaimanpun juga rumusan dari sastra pesantren, adalah hal yang paling penting untuk dikeluarkan bukanlah melulu murni pesantren, harus segala yang berbau pesantren. Tetapi lebih luas dari itu, yakni eksplorasi nilai-nilai yang ditradisikan di pesantren. Bagaimana nilai pesantren tanggap terhadap perubahan zaman, bagaimana pesantren merespon kehidupan yang telah sedemikian mengglobal di luar sana. Toh, sastra sudah semestinya meluas seluas semesta ini dan bukan hanya terkungkung di pesantren an sich.
Penulis adalah penikmat sastra, alumni pesantren Raudhatut Thalibien. Mahasiswa FSH/Mu’ammalat/PS UIN Jakarta. Bergiat di Tongkrongan Sastra Senjakala.