Sastra Wangi, Wangi Sastra
Dalam sebuah diskusi di situs jejaring sosial facebook Amelia Fitriani dari Teh Hangat membincangkan perihal sastrawangi dengan TTO (begitu ia meminta namanya disebut). Boleh jadi polemik sastrawangi sudah usang adanya, tapi tak ada salahnya mengangkat wacana itu kembali.
AF: Apa sebetulnya sastrawangi itu? Istilah, julukan, genre dalam sastra, atau apa?
TTO: Entah harus diakui atau tidak, pelabelan “sastrawangi” terlanjur “politis”! Sarat kepentingan! Konsekwensinya, SASTRAWANGI boleh dituduh sebagai istilah, julukan, genre secara sekaligus, terintegrasi satu sama lain. Tapi boleh juga membacanya secara semi per kategoris. Yang jelas, tak ada konsensus buat soal ini.
Sebagai istilah dan julukan, banyak sastrawan berjenis kelamin pria yang sensitif gender dan rasis, melihat sastrawangi tak lebih dari sebuah nama untuk segerombolan penulis berkelamin “perempuan” berusia muda dari kelas menengah yang berwajah komersial dan bertubuh seksi. Ya! Ironis memang, sastrawangi dianggap tak lebih dari nama sebuah kelompok/komunitas sastrawati.
Kata sastrawangi ini mula-mula populer di kalangan sastrawan laki-laki yang doyan menggosip. Memang, tak teridentifikasi siapa yang pertama kali menggunakan kata ini, sebab sebelum menjadi polemik (baca: gosip tertulis, hehehe), kata ini digunakan sebagai kritik (baca: ledek-ledekan) secara lisan dalam komunitas sastra
Sedikit berbeda dengan sastrawangi sebagai istilah atau julukan, sebagai genre, menurut keterangan Manneke Budiman, sebutan sastrawangi, selain dituduh buat mendulang popularitas bagi para penulis muda perempuan, juga dituding ingin menyemburkan sekaligus mengoptimalkan nuansa feminisme + variannya dalam sastra. Kenyataan demikian ditandai dengan gaya penulisan anti-konvensional dan anti-logosentris—memiliki tendensi “semi-pop”—, dinilai ambisius buat mendobrak dominasi budaya patriarki. Tapi sayangnya alat dobrak itu mengedepankan Seksualitas tok. Ya! Penulis perempuan muda pada masa itu terlanjur dituding telah mereduksi bentuk perlawanan terhadap budaya patriarki dengan terlalu banyak berputar-putar dalam tema Seksualitas! Mereka kurang melirik tema lain untuk mendobrak budaya patriarki! Jadi sastrawangi sebagai genre, bisa dibilang jenis sastra yang membeberkan diskursus seksualitas perempuan secara ”vulgar” dalam bingkai budaya patriarki…
AF: Sedikit yang saya ketahui, sastawangi muncul pada awal 2000an dengan munculnya penulis wanita seperti Ayu Utami dengan ‘Saman’nya, lalu kemudian merujuk pada penulis wanita yang tulisannya bisa dikatakan menggunakan bahasa yang ‘telanjang’ untuk menceritakan hal-hal sensitif seperti seks, seperti Djaenar, Dee, Fira Basuki, Rieke Dyah Pitaloka, dll. Lantas, apakah benar sastrawangi teridentikan dengan tulisan kaum wanita yang bernafaskan ‘kevulgaran’?
TTO: Bisa dibilang begitu, dan memang ada tendensi ke sana. Tapi sebenarnya tolak ukur sebuah karya vulgar atau tidak sama sekali tidak jelas! Lebih jauh pelebelan Sastrawangi yang kerap diidentikan dengan karya vulgar mirip stensilan, buat saya, membawa implikasi negatif bagi sastrawati lain yang tak mengusung tema seksualitas (juga bagi sastrawati yang menulis dengan tema itu tapi tidak dengan vulgar), meskipun mereka sama-sama ingin mendobrak budaya patriarki.
Kita tahu pada periode itu, tahun 2000-an, asalkan sebuah karya dengan berani melukiskan tubuh dan seksualitas perempuan, karya itu langsung dipuji-puji sebagai cermin “perlawanan perempuan terhadap dominasi laki-laki”. Akibatnya penulis perempuan yang tidak menulis dengan tema ini dan gaya vulgar dituding tidak kritis terhadap patriarki, dengan demikian karya mereka seolah tak pantas dibaca oleh perempuan. Buat saya, ini tak lain dari sebentuk hegemoni dan monopoli! Bukankah dunia perempuan tidak sesempit wilayah seksualitasnya saja?
Pada titik inilah sastrawangi sebagai “komunitas” penulis perempuan yang menulis dengan tema seksualitas secara tak langsung menindas komunitas Non-Sastrawangi yang sama-sama perempuan juga. Alih-alih Sastrawangi ingin mendobrak budaya patriarki, mereka malah semakin menegaskan budaya patriarki dengan menindas saudaranya sendiri. Ya! Perempuan sastrawangi menindas perempuan non-sastrawangi dengan cara patriarkis! Pendapat saya ini senada dengan pendapat Nukila Amal, dan diperkuat juga oleh keterangan dari Linda Cristanty, Medy Loekito, Helvy Tiana Rosa, dan Bungarumputliar: Korban-korban malang yang dituding sok “moralis” oleh penulis perempuan yang diuntungkan dengan pelabelan sastrawangi???
AF: Dalam tulisan-tulisan di internet (pada tulisan pihak yang kontra dengan sastrawangi) saya melihat ada pemojokan yang seolah mengatakan bahawa “sastrawangi itu salah”. Pertanyaan saya, apakah dalam sastra harus ada kata ‘Benar’ dan ‘Salah’? jika iya, sastrawangi ada di pihak mana?
TTO: Benar dan salah dalam sastra, jelas harus ada. Sebab benar dan salah, hitam dan putih, adalah bentuk pernyataan sikap. Tapi masalahnya, benar secara apa? Secara moral, teologis, politis, filosofis, ideologis? Otoritas siapa atau apakah yang berhak menentukan benar-salah? Ah, sepertinya butuh diskusi dan renungan intensif buat menjawab pertanyaan ini? Lepas dari hal ini, konon katanya sastrawati/n baik harus punya sikap! Tapi buat saya, sikap ini lebih sikap impresif saja, bukan sikap ekspresif, sebab sikap yang ekspresif sering kali jatuh ke dalam jurang kemunafikan!
Mel, asal kau tahu, saya juga masih bingung menjawab pertannyaan ini. Entah justifikasi model apa yang membuat Sastrawangi seolah tampak terpojok, kemudian pihak yang kontra menuding mereka salah? Tapi saya cenderung berasumsi, bahwa mereka yang menuding Sastrawangi salah, lebih mendasarkan argumentasinya pada justifikasi moral. Memang, penilaian seperti ini membawa konseksensi filosofis cukup berat. Mau tak mau kita bertanya, apakah moral? Bagaimana bermoral? Seperti apa standarisasisnya dalam sastra? Padahal argumentasi mereka yang menuding sastrawangi salah secara moral itu, hanya didasarkan atas pengamatan pada tataran tematik teks sastra, dan eksplorasi bahasa yang intens pada tingkat stilistika.
Terus terang Mel, saya tak mau ikut-ikutan menjustifikasi sastrawangi dengan justifikasi moral, saya tak mau menilai mereka secara hitam-putih; lagi pula saya menolak bahwa otoritas menentukan benar-salah ada di tangan manusia, dan akan sangat bodoh kalau saya melakukan justifikasi sejenis itu. Saya justru lebih tertarik melihat Sastrawangi sebagai KORBAN dari formasi diskursif konstruksi pengetahuan dan ideologi “sekular”, terutama feminisme dan variannya, yang berdiaspora begitu cepat pasca 1998, meski tak berimbang dengan daya kritis kognisi sosial pada masa itu...
AF: Sejauh yang Anda ketahui, bagaima reaksi para sastrawan yang disebut sebagai penulis sastrawangi tersebut? Menerima? Berontak? Atau bagaimana?
TTO: Sangat Variatif. Ada yang santai-santai saja, seperti Linda Christanty, meski ia “agak eberatan” juga dengan lebel ini, sebab katanya, istilah sastrawangi sarat konotasi negatif.
Selain Linda, ada juga yang senang, dan diam-diam merasa diuntungkan meskipun malu mengakuinya, seperti Djenar Mesa Ayu dan Fira Basuki misalnya. Djenar dan Fira dicurigai beberapa penulis perempuan dan juga laki-laki, bahwa ia memperoleh popularitas dari polemik ini, ia dituding bahwa kalau popularitasnya sebagai penulis bukan dihasilkan dari kualitas tulisannya, tetapi terutama dari citra publik yang dibangunnya secara gencar dalam berbagai media.
Berbeda dengan Djenar dan Fira, Nukila Amal adalah penulis yang paling keras menentang pelabelan yang sudah terlanjur jadi polemik ini. Nukila memang tegas dan radikal, ia pernah terang-terangan menolak untuk diwawancarai soal sastrawangi, namun demikan ia pun TERPAKSA berbicara sesuatu soal ini dari posisi yang bersebrangan secara dimetris. Nukila pernah berbicara geram seperti ini, “kenapa penulis itu harus dipersoalkan gendernya!? Apa ada bedanya bila mereka itu laki-laki atau perempuan!? Dapatkah mereka dinilai dari bobot karya-karya yang dihasilkannya ketimbang dari jenis kelamin dan wajah mereka!? Yang jelas bagi Nukila, label Sastrawangi menafikan segala semangat, pencapaian, dan keunggulan yang telah berhasil dibuktikan oleh banyak penulis perempuan pada saat ini; label sastrawangi tak lebih sebutan peyoratif, mereduksi semua pencapaian penulis perempuan ke dalam penampilan fisik dan seksualitas belaka.
Nyaris senada dengan Nukila, Nova Riyanti Yusuf bersikap sinis terhadap fenomena ini. Bagi dia, istilah sastrawangi seolah membuat penulis-penulis perempuan yang dicap dengan lebel ini, seolah-olah tak lebih dari sekumpulan manusia “idiot”. Bagi Nova kata “wangi” punya konotasi negatif dan sengaja ditonjolkan untuk mengompensasikan absensi intelektualitas dalam otak penulis ‘perempuan’….
Ya, kiranya beberapa sastrawati ini cukup menggambarkan bagaimana respons dari pelabelan dan polemik Sastrawangi, meskipun masih banyak lagi yang memberi penilaian yang berbeda dengan mereka…
AF: Yang saya baca juga, tentang kontroversinya, dari pihak yang kontra mengatakan bahwa sastrawangi muncul dari keprihatinan para sastrawan Indonesia atas tulisan-tulisan yang dianggap senonoh namun menggunakan payung sastra. Sepeti Taufik Ismail misalnya, beliau pernah menulis kolom Gerakan Syahwat Merdeka di majalah Gatra, yang merupakan bentuk keprihatinan atas pengumbaran seksualitas perempuan oleh perempuan itu sendiri. Seolah ia ’menjual dirinya sendiri dengan tulisan’. Tapi dari pihak pro seperti di Lampung Post mengatakan bahwa sastrawangi ialah pencanggihan cara mengemas teks sastra. Lantas, Bagaimana tanggapan Anda melihat adanya sastrawangi itu?
TTO: Wah Mel, saya bisa dibilang sudah lama MURTAD dari buntelan kertas bernama SURAT KABAR dan figur sastrawan. Saya cuma tahu soal sastrawangi lewat beberapa jurnal perempuan dan diskusi-diskusi sastra. Dan lagi pula PRO dan KONTRA soal Sastrawangi, buat saya, tak bisa direduksi ke dalam skala individual (Taufik Ismail) atau surat kabar (Lampung Post)? Bukan hanya mereka yang jadi representasi polemik Sastrawangi, tapi juga banyak orang, komunitas, dan berbagai surat kabar, juga jurnal, esai, dsb. Kita harus mendudukan polemik ini dalam ranah kesusastraan Indonesia seluruhnya berdasarkan setiap “teks” yang diproduksi bekenaan dengan polemik ini.
AF: Apa kritik Anda atas adanya penulis-penulis sastrawangi itu?
TTO: Wah, kalau buat para penulisnya, do’a saja deh: semoga mereka sehat-sehat saja, makin banyak “anak” (baca: karya) binti banyak rezeki. Tapi kalau buat “sebutan sastrawangi”: semoga sebuatan ini mampus secepatnya! Dan para korbannya semoga tak banyak berantem + ngebacot + ngegosip. Menulis saja yang banyak, tak usah mikirin laku apa tidak, bagus atau jelek, persetan kata orang, tak usah tergantung pada penilaian orang lain apalagi pasar; pokoknya menulis saja deh! Bebas-merdeka menulis apa saja, tentu dengan gaya dan cara apa saja. Terserah. Hehehe.
AF: Apa sebetulnya sastrawangi itu? Istilah, julukan, genre dalam sastra, atau apa?
TTO: Entah harus diakui atau tidak, pelabelan “sastrawangi” terlanjur “politis”! Sarat kepentingan! Konsekwensinya, SASTRAWANGI boleh dituduh sebagai istilah, julukan, genre secara sekaligus, terintegrasi satu sama lain. Tapi boleh juga membacanya secara semi per kategoris. Yang jelas, tak ada konsensus buat soal ini.
Sebagai istilah dan julukan, banyak sastrawan berjenis kelamin pria yang sensitif gender dan rasis, melihat sastrawangi tak lebih dari sebuah nama untuk segerombolan penulis berkelamin “perempuan” berusia muda dari kelas menengah yang berwajah komersial dan bertubuh seksi. Ya! Ironis memang, sastrawangi dianggap tak lebih dari nama sebuah kelompok/komunitas sastrawati.
Kata sastrawangi ini mula-mula populer di kalangan sastrawan laki-laki yang doyan menggosip. Memang, tak teridentifikasi siapa yang pertama kali menggunakan kata ini, sebab sebelum menjadi polemik (baca: gosip tertulis, hehehe), kata ini digunakan sebagai kritik (baca: ledek-ledekan) secara lisan dalam komunitas sastra
Sedikit berbeda dengan sastrawangi sebagai istilah atau julukan, sebagai genre, menurut keterangan Manneke Budiman, sebutan sastrawangi, selain dituduh buat mendulang popularitas bagi para penulis muda perempuan, juga dituding ingin menyemburkan sekaligus mengoptimalkan nuansa feminisme + variannya dalam sastra. Kenyataan demikian ditandai dengan gaya penulisan anti-konvensional dan anti-logosentris—memiliki tendensi “semi-pop”—, dinilai ambisius buat mendobrak dominasi budaya patriarki. Tapi sayangnya alat dobrak itu mengedepankan Seksualitas tok. Ya! Penulis perempuan muda pada masa itu terlanjur dituding telah mereduksi bentuk perlawanan terhadap budaya patriarki dengan terlalu banyak berputar-putar dalam tema Seksualitas! Mereka kurang melirik tema lain untuk mendobrak budaya patriarki! Jadi sastrawangi sebagai genre, bisa dibilang jenis sastra yang membeberkan diskursus seksualitas perempuan secara ”vulgar” dalam bingkai budaya patriarki…
AF: Sedikit yang saya ketahui, sastawangi muncul pada awal 2000an dengan munculnya penulis wanita seperti Ayu Utami dengan ‘Saman’nya, lalu kemudian merujuk pada penulis wanita yang tulisannya bisa dikatakan menggunakan bahasa yang ‘telanjang’ untuk menceritakan hal-hal sensitif seperti seks, seperti Djaenar, Dee, Fira Basuki, Rieke Dyah Pitaloka, dll. Lantas, apakah benar sastrawangi teridentikan dengan tulisan kaum wanita yang bernafaskan ‘kevulgaran’?
TTO: Bisa dibilang begitu, dan memang ada tendensi ke sana. Tapi sebenarnya tolak ukur sebuah karya vulgar atau tidak sama sekali tidak jelas! Lebih jauh pelebelan Sastrawangi yang kerap diidentikan dengan karya vulgar mirip stensilan, buat saya, membawa implikasi negatif bagi sastrawati lain yang tak mengusung tema seksualitas (juga bagi sastrawati yang menulis dengan tema itu tapi tidak dengan vulgar), meskipun mereka sama-sama ingin mendobrak budaya patriarki.
Kita tahu pada periode itu, tahun 2000-an, asalkan sebuah karya dengan berani melukiskan tubuh dan seksualitas perempuan, karya itu langsung dipuji-puji sebagai cermin “perlawanan perempuan terhadap dominasi laki-laki”. Akibatnya penulis perempuan yang tidak menulis dengan tema ini dan gaya vulgar dituding tidak kritis terhadap patriarki, dengan demikian karya mereka seolah tak pantas dibaca oleh perempuan. Buat saya, ini tak lain dari sebentuk hegemoni dan monopoli! Bukankah dunia perempuan tidak sesempit wilayah seksualitasnya saja?
Pada titik inilah sastrawangi sebagai “komunitas” penulis perempuan yang menulis dengan tema seksualitas secara tak langsung menindas komunitas Non-Sastrawangi yang sama-sama perempuan juga. Alih-alih Sastrawangi ingin mendobrak budaya patriarki, mereka malah semakin menegaskan budaya patriarki dengan menindas saudaranya sendiri. Ya! Perempuan sastrawangi menindas perempuan non-sastrawangi dengan cara patriarkis! Pendapat saya ini senada dengan pendapat Nukila Amal, dan diperkuat juga oleh keterangan dari Linda Cristanty, Medy Loekito, Helvy Tiana Rosa, dan Bungarumputliar: Korban-korban malang yang dituding sok “moralis” oleh penulis perempuan yang diuntungkan dengan pelabelan sastrawangi???
AF: Dalam tulisan-tulisan di internet (pada tulisan pihak yang kontra dengan sastrawangi) saya melihat ada pemojokan yang seolah mengatakan bahawa “sastrawangi itu salah”. Pertanyaan saya, apakah dalam sastra harus ada kata ‘Benar’ dan ‘Salah’? jika iya, sastrawangi ada di pihak mana?
TTO: Benar dan salah dalam sastra, jelas harus ada. Sebab benar dan salah, hitam dan putih, adalah bentuk pernyataan sikap. Tapi masalahnya, benar secara apa? Secara moral, teologis, politis, filosofis, ideologis? Otoritas siapa atau apakah yang berhak menentukan benar-salah? Ah, sepertinya butuh diskusi dan renungan intensif buat menjawab pertanyaan ini? Lepas dari hal ini, konon katanya sastrawati/n baik harus punya sikap! Tapi buat saya, sikap ini lebih sikap impresif saja, bukan sikap ekspresif, sebab sikap yang ekspresif sering kali jatuh ke dalam jurang kemunafikan!
Mel, asal kau tahu, saya juga masih bingung menjawab pertannyaan ini. Entah justifikasi model apa yang membuat Sastrawangi seolah tampak terpojok, kemudian pihak yang kontra menuding mereka salah? Tapi saya cenderung berasumsi, bahwa mereka yang menuding Sastrawangi salah, lebih mendasarkan argumentasinya pada justifikasi moral. Memang, penilaian seperti ini membawa konseksensi filosofis cukup berat. Mau tak mau kita bertanya, apakah moral? Bagaimana bermoral? Seperti apa standarisasisnya dalam sastra? Padahal argumentasi mereka yang menuding sastrawangi salah secara moral itu, hanya didasarkan atas pengamatan pada tataran tematik teks sastra, dan eksplorasi bahasa yang intens pada tingkat stilistika.
Terus terang Mel, saya tak mau ikut-ikutan menjustifikasi sastrawangi dengan justifikasi moral, saya tak mau menilai mereka secara hitam-putih; lagi pula saya menolak bahwa otoritas menentukan benar-salah ada di tangan manusia, dan akan sangat bodoh kalau saya melakukan justifikasi sejenis itu. Saya justru lebih tertarik melihat Sastrawangi sebagai KORBAN dari formasi diskursif konstruksi pengetahuan dan ideologi “sekular”, terutama feminisme dan variannya, yang berdiaspora begitu cepat pasca 1998, meski tak berimbang dengan daya kritis kognisi sosial pada masa itu...
AF: Sejauh yang Anda ketahui, bagaima reaksi para sastrawan yang disebut sebagai penulis sastrawangi tersebut? Menerima? Berontak? Atau bagaimana?
TTO: Sangat Variatif. Ada yang santai-santai saja, seperti Linda Christanty, meski ia “agak eberatan” juga dengan lebel ini, sebab katanya, istilah sastrawangi sarat konotasi negatif.
Selain Linda, ada juga yang senang, dan diam-diam merasa diuntungkan meskipun malu mengakuinya, seperti Djenar Mesa Ayu dan Fira Basuki misalnya. Djenar dan Fira dicurigai beberapa penulis perempuan dan juga laki-laki, bahwa ia memperoleh popularitas dari polemik ini, ia dituding bahwa kalau popularitasnya sebagai penulis bukan dihasilkan dari kualitas tulisannya, tetapi terutama dari citra publik yang dibangunnya secara gencar dalam berbagai media.
Berbeda dengan Djenar dan Fira, Nukila Amal adalah penulis yang paling keras menentang pelabelan yang sudah terlanjur jadi polemik ini. Nukila memang tegas dan radikal, ia pernah terang-terangan menolak untuk diwawancarai soal sastrawangi, namun demikan ia pun TERPAKSA berbicara sesuatu soal ini dari posisi yang bersebrangan secara dimetris. Nukila pernah berbicara geram seperti ini, “kenapa penulis itu harus dipersoalkan gendernya!? Apa ada bedanya bila mereka itu laki-laki atau perempuan!? Dapatkah mereka dinilai dari bobot karya-karya yang dihasilkannya ketimbang dari jenis kelamin dan wajah mereka!? Yang jelas bagi Nukila, label Sastrawangi menafikan segala semangat, pencapaian, dan keunggulan yang telah berhasil dibuktikan oleh banyak penulis perempuan pada saat ini; label sastrawangi tak lebih sebutan peyoratif, mereduksi semua pencapaian penulis perempuan ke dalam penampilan fisik dan seksualitas belaka.
Nyaris senada dengan Nukila, Nova Riyanti Yusuf bersikap sinis terhadap fenomena ini. Bagi dia, istilah sastrawangi seolah membuat penulis-penulis perempuan yang dicap dengan lebel ini, seolah-olah tak lebih dari sekumpulan manusia “idiot”. Bagi Nova kata “wangi” punya konotasi negatif dan sengaja ditonjolkan untuk mengompensasikan absensi intelektualitas dalam otak penulis ‘perempuan’….
Ya, kiranya beberapa sastrawati ini cukup menggambarkan bagaimana respons dari pelabelan dan polemik Sastrawangi, meskipun masih banyak lagi yang memberi penilaian yang berbeda dengan mereka…
AF: Yang saya baca juga, tentang kontroversinya, dari pihak yang kontra mengatakan bahwa sastrawangi muncul dari keprihatinan para sastrawan Indonesia atas tulisan-tulisan yang dianggap senonoh namun menggunakan payung sastra. Sepeti Taufik Ismail misalnya, beliau pernah menulis kolom Gerakan Syahwat Merdeka di majalah Gatra, yang merupakan bentuk keprihatinan atas pengumbaran seksualitas perempuan oleh perempuan itu sendiri. Seolah ia ’menjual dirinya sendiri dengan tulisan’. Tapi dari pihak pro seperti di Lampung Post mengatakan bahwa sastrawangi ialah pencanggihan cara mengemas teks sastra. Lantas, Bagaimana tanggapan Anda melihat adanya sastrawangi itu?
TTO: Wah Mel, saya bisa dibilang sudah lama MURTAD dari buntelan kertas bernama SURAT KABAR dan figur sastrawan. Saya cuma tahu soal sastrawangi lewat beberapa jurnal perempuan dan diskusi-diskusi sastra. Dan lagi pula PRO dan KONTRA soal Sastrawangi, buat saya, tak bisa direduksi ke dalam skala individual (Taufik Ismail) atau surat kabar (Lampung Post)? Bukan hanya mereka yang jadi representasi polemik Sastrawangi, tapi juga banyak orang, komunitas, dan berbagai surat kabar, juga jurnal, esai, dsb. Kita harus mendudukan polemik ini dalam ranah kesusastraan Indonesia seluruhnya berdasarkan setiap “teks” yang diproduksi bekenaan dengan polemik ini.
AF: Apa kritik Anda atas adanya penulis-penulis sastrawangi itu?
TTO: Wah, kalau buat para penulisnya, do’a saja deh: semoga mereka sehat-sehat saja, makin banyak “anak” (baca: karya) binti banyak rezeki. Tapi kalau buat “sebutan sastrawangi”: semoga sebuatan ini mampus secepatnya! Dan para korbannya semoga tak banyak berantem + ngebacot + ngegosip. Menulis saja yang banyak, tak usah mikirin laku apa tidak, bagus atau jelek, persetan kata orang, tak usah tergantung pada penilaian orang lain apalagi pasar; pokoknya menulis saja deh! Bebas-merdeka menulis apa saja, tentu dengan gaya dan cara apa saja. Terserah. Hehehe.