aaaSu ingin
Si Apalah
Aku ingin jadi penyair, tapi malu pada diriku: ketika banyak gedung sekolah ambruk dan sawah-ladang kering, aku malah mengabadikannya dengan tinta yang muncrat dari lobang pulpen. Ya, aku malah sengaja merekam kenyataan itu dengan kata-kata, sekedar untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar industri-bahasaku, yang baru memproduksi beberapa ratus ekor puisi-penderitaan-berbulu-penyakit obesitas-informasibasi-stadium lanjut plus virus-susah-buang-air-besar-kronis. Lebih dari itu, di ranjang, aku sering lelap bermimpi: semoga pegadaian murah-hati bernama surat-kabar akan memperkenankan beberapa ekor binatang-ternakku berak-berlari-lari di muka rubrik-seni yang disediakannya sekitar bebrapa sentimeter, tempat di mana cerita-cebol, kawanan-sajak, gerombolan-esai maupun kritik-singkong-busuk, cuma nongkrong tiap hari-minggu sambil mengeluhkan nasibnya yang kejepit lalu mampus terinjak-injak oleh karnaval-korporasi-iklan-paus. Dengan lain kata-atau lebih tepatnya dengan lain kalimat-boros-bersintaksis-sekusut-jembut dan dengan lain paragraf tulalit-berketurunan-pungutasi-sebonyok-borok-, aku sering lupa mengajak kata-kata kabur dari pasungan kertas dan tata-bahasa-beku ke luapan lumpur panas agar berbunyi hantaman-palu tuan-kuli-bangunan atau sabetan-arit paman-buruh-tani; kata-kata yang kuanggap manis dan bijak di pabrik-bahasaku yang diancam bangkrut oleh teenlit seringkali gagal kuterjemahkan sebagai ayunan-sapu-pak-petugas-kebersihan atau kain-pel-bibi-pembantu yang tulus membasuh noda di sekujur markas-besarku. Memang demi tercapainya mimpiku jadi penyaeeeeeeeer, sampai sekarang aku masih rajin memuntah-nyemburkan ribuan battalion-kata-mutiara-montok buat menggempur telingaku yang mahir berpura-pura tuli bin budek binti congek di depan anak jalanan. Dalam markas besarku, dari ujung kaki hingga ujung rambut, setiap huruf pada setiap kata kusiram krim-pemutih dan kuasah hingga jauh lebih bahenol dari alat-reproduksi mitos-kecantikan dan lebih indah dari silet-baja sekaligus jauh lebih seksi dari gigitan ular-kobra maupun aaaaaaaanjing-rabies. Namun, tetap saja rasa-malu pada diriku tak bisa kucincang dan kubantai habis. Kata-kata indah yang saban hari kumuntahkan dan kusemburkan itu goooblok bin idiot, tak becus membetot mulutku yang bawelnya persis infotainment supaya belajar membaca gratis bersama anak-tetangga yang putus sekolah, apalagi menyeret kakiku supaya melangkah bersama pengangguran, bandar-narkoba, rampok dan germo ke lapangan-lapangan yang bebas dari tongseng-bangkai-babi-buntung-rasa-wc-mampet-keselek-buntelan-soptek-popok-gajah-aprika-mandul maupun sop-tai-kebo-saus-air-kencing-kudanil-gosong-blatungan. Bahkan, kata-kataku susah sekali kubentuk sebagai tangan yang membuang sampah pada tempatnya. Kata-kataku persis taburan bulu-ketek-banci-gundul yang nyelip di sela-sela gigi-tonggos pisau-cukur mintul dalam kuburan si binatang juling. Kuimpikan sebagai bahan-baku sajak-cinta yang meneteskan tawa bagi janda-tua-bopeng saja tak bisa, lantas bagaimana munkin dapat kubuktikan sebagai kelebat-pedang yang memberantas kebodohan sekaligus menyunat leher koruptor atau menggorok-gorok lilitan rantai-kemiskinan dari pemerint
Aku ingin jadi penyair, tapi malu pada diriku: ketika banyak gedung sekolah ambruk dan sawah-ladang kering, aku malah mengabadikannya dengan tinta yang muncrat dari lobang pulpen. Ya, aku malah sengaja merekam kenyataan itu dengan kata-kata, sekedar untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar industri-bahasaku, yang baru memproduksi beberapa ratus ekor puisi-penderitaan-berbulu-penyakit obesitas-informasibasi-stadium lanjut plus virus-susah-buang-air-besar-kronis. Lebih dari itu, di ranjang, aku sering lelap bermimpi: semoga pegadaian murah-hati bernama surat-kabar akan memperkenankan beberapa ekor binatang-ternakku berak-berlari-lari di muka rubrik-seni yang disediakannya sekitar bebrapa sentimeter, tempat di mana cerita-cebol, kawanan-sajak, gerombolan-esai maupun kritik-singkong-busuk, cuma nongkrong tiap hari-minggu sambil mengeluhkan nasibnya yang kejepit lalu mampus terinjak-injak oleh karnaval-korporasi-iklan-paus. Dengan lain kata-atau lebih tepatnya dengan lain kalimat-boros-bersintaksis-sekusut-jembut dan dengan lain paragraf tulalit-berketurunan-pungutasi-sebonyok-borok-, aku sering lupa mengajak kata-kata kabur dari pasungan kertas dan tata-bahasa-beku ke luapan lumpur panas agar berbunyi hantaman-palu tuan-kuli-bangunan atau sabetan-arit paman-buruh-tani; kata-kata yang kuanggap manis dan bijak di pabrik-bahasaku yang diancam bangkrut oleh teenlit seringkali gagal kuterjemahkan sebagai ayunan-sapu-pak-petugas-kebersihan atau kain-pel-bibi-pembantu yang tulus membasuh noda di sekujur markas-besarku. Memang demi tercapainya mimpiku jadi penyaeeeeeeeer, sampai sekarang aku masih rajin memuntah-nyemburkan ribuan battalion-kata-mutiara-montok buat menggempur telingaku yang mahir berpura-pura tuli bin budek binti congek di depan anak jalanan. Dalam markas besarku, dari ujung kaki hingga ujung rambut, setiap huruf pada setiap kata kusiram krim-pemutih dan kuasah hingga jauh lebih bahenol dari alat-reproduksi mitos-kecantikan dan lebih indah dari silet-baja sekaligus jauh lebih seksi dari gigitan ular-kobra maupun aaaaaaaanjing-rabies. Namun, tetap saja rasa-malu pada diriku tak bisa kucincang dan kubantai habis. Kata-kata indah yang saban hari kumuntahkan dan kusemburkan itu goooblok bin idiot, tak becus membetot mulutku yang bawelnya persis infotainment supaya belajar membaca gratis bersama anak-tetangga yang putus sekolah, apalagi menyeret kakiku supaya melangkah bersama pengangguran, bandar-narkoba, rampok dan germo ke lapangan-lapangan yang bebas dari tongseng-bangkai-babi-buntung-rasa-wc-mampet-keselek-buntelan-soptek-popok-gajah-aprika-mandul maupun sop-tai-kebo-saus-air-kencing-kudanil-gosong-blatungan. Bahkan, kata-kataku susah sekali kubentuk sebagai tangan yang membuang sampah pada tempatnya. Kata-kataku persis taburan bulu-ketek-banci-gundul yang nyelip di sela-sela gigi-tonggos pisau-cukur mintul dalam kuburan si binatang juling. Kuimpikan sebagai bahan-baku sajak-cinta yang meneteskan tawa bagi janda-tua-bopeng saja tak bisa, lantas bagaimana munkin dapat kubuktikan sebagai kelebat-pedang yang memberantas kebodohan sekaligus menyunat leher koruptor atau menggorok-gorok lilitan rantai-kemiskinan dari pemerint