Tepi Api
Dedik Priyanto
Jika kau datang ke tempat ini. Maka yang kau temukan adalah tumpukan sampah. Sampah dan sampah. Anyir memang. Tapi itulah kenyataan yang harus diterima tempat ini.
“Pak, mengapa sih kita harus pindah ke tempat ini?” tanya seorang anak kepada bapaknya.
“Tempat ini sangat kotor. Banyak pemulung, banyak lalatnya.” lanjut anak itu seraya menunjuk ke arah kerumunan orang yang mengais-ngais tumpukan sampah yang baru saja diturunkan dari truk besar.
Sambil meneteskan air mata. Orang tua itu berkata,”Maafkan bapak, Nak. Cuma kontrakan kecil ini yang bisa kita tinggali. Semoga kamu bisa mengerti.”
Orang tua itu lalu memeluk anaknya erat. Dekapannya begitu hangat dirasa. Memburatkan perasaan sayang yang teramat dalam seorang ayah kepada anaknya. Lalu ia berbisik kepada anaknya,”Kamu main saja dulu. Entar kalau kamu lapar, kamu pulang ya.”
“Iya, Pak.”
Anak itu lalu beranjak dari dekapan orang tua. Ia berdiri lalu pergi keluar rumah. Sementara ayahya hanya bisa menyeringai. Ia hanya bisa memikirkan malang nasibnya kini. Sebagai seorang veteran, yang ditinggal mati istri dan kedua anaknya. Hanya anak angkat itulah yang membuatnya tetap bersemangat. Anak kecil yang ia ambil dari jalanan!
Ia bingung, mengapa pemerintah tidak memikirkan orang seperti dirinya? Padahal dia dulu ikut berperang. Berjuang mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini. Tunjangan kecil yang diterimanya ini hanya cukup untuk menyewa rumah kecil di dekat tempat pembuangan sampah ini.
Dalam lamunan. Tiba-tiba ia mendengar teriakan dari luar rumah. Tak ayal, ia langsung beranjak keluar.
“Tolong…! Tolong…! Kebakaran…! Kebakaran…!Kebakaran…!”
Ia tertegun sejenak. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Warga berhamburan. Api menyalak-nyalak dengan hebatnya. Siraman air dari ember-ember warga tak jua mampu memadamkanya. Dari kejauhan, ia melihat ibu-ibu tergeletak di tanah sambil terisak-isak.
“Ayo siram, cepat…”
“Sebelah sana! Ayo cepat siram!”
Tiba-tiba ia teringat anaknya.
“Anakku!” ia berlari. Terus berlari sambil terhuyung-huyung mencari anaknya. Hingga ia menemukanya di antara kerumunan warga. Ia langsung memeluknya erat. Sangat. Tanpa disadari kelopak matanya basah.
Ia memandangi anaknya tanpa lekang. Dalam hati ia berkata,”Tuhan, dimana Engkau?”
Penulis adalah penikmat sastra. Mahasiswa Psikologi UIN Jakarta.
Jika kau datang ke tempat ini. Maka yang kau temukan adalah tumpukan sampah. Sampah dan sampah. Anyir memang. Tapi itulah kenyataan yang harus diterima tempat ini.
“Pak, mengapa sih kita harus pindah ke tempat ini?” tanya seorang anak kepada bapaknya.
“Tempat ini sangat kotor. Banyak pemulung, banyak lalatnya.” lanjut anak itu seraya menunjuk ke arah kerumunan orang yang mengais-ngais tumpukan sampah yang baru saja diturunkan dari truk besar.
Sambil meneteskan air mata. Orang tua itu berkata,”Maafkan bapak, Nak. Cuma kontrakan kecil ini yang bisa kita tinggali. Semoga kamu bisa mengerti.”
Orang tua itu lalu memeluk anaknya erat. Dekapannya begitu hangat dirasa. Memburatkan perasaan sayang yang teramat dalam seorang ayah kepada anaknya. Lalu ia berbisik kepada anaknya,”Kamu main saja dulu. Entar kalau kamu lapar, kamu pulang ya.”
“Iya, Pak.”
Anak itu lalu beranjak dari dekapan orang tua. Ia berdiri lalu pergi keluar rumah. Sementara ayahya hanya bisa menyeringai. Ia hanya bisa memikirkan malang nasibnya kini. Sebagai seorang veteran, yang ditinggal mati istri dan kedua anaknya. Hanya anak angkat itulah yang membuatnya tetap bersemangat. Anak kecil yang ia ambil dari jalanan!
Ia bingung, mengapa pemerintah tidak memikirkan orang seperti dirinya? Padahal dia dulu ikut berperang. Berjuang mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini. Tunjangan kecil yang diterimanya ini hanya cukup untuk menyewa rumah kecil di dekat tempat pembuangan sampah ini.
Dalam lamunan. Tiba-tiba ia mendengar teriakan dari luar rumah. Tak ayal, ia langsung beranjak keluar.
“Tolong…! Tolong…! Kebakaran…! Kebakaran…!Kebakaran…!”
Ia tertegun sejenak. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Warga berhamburan. Api menyalak-nyalak dengan hebatnya. Siraman air dari ember-ember warga tak jua mampu memadamkanya. Dari kejauhan, ia melihat ibu-ibu tergeletak di tanah sambil terisak-isak.
“Ayo siram, cepat…”
“Sebelah sana! Ayo cepat siram!”
Tiba-tiba ia teringat anaknya.
“Anakku!” ia berlari. Terus berlari sambil terhuyung-huyung mencari anaknya. Hingga ia menemukanya di antara kerumunan warga. Ia langsung memeluknya erat. Sangat. Tanpa disadari kelopak matanya basah.
Ia memandangi anaknya tanpa lekang. Dalam hati ia berkata,”Tuhan, dimana Engkau?”
Penulis adalah penikmat sastra. Mahasiswa Psikologi UIN Jakarta.