Minggu, 11 Oktober 2009

"Di UIN Jakarta, Sastra Dianggap Pinggiran!”

Selasa pagi (2/6/2009), Abraham Zakky Zulhazmi dan Kenyot Adisattva dari Teh Hangat, berkesempatan sowan ke rumah Jamal D Rahman (Pemred Majalah Sastra Horison). Berikut cuplikan obrolan mereka.

Apa yang membuat Mas Jamal tertarik dengan sastra?
Banyak faktor yang membuat saya tertarik dengan sastra. Salah satunya, ketika di suatu kesempatan kiai saya pernah ceramah dan mengutip ayat Al Quran. Beliau menerjemahkan wa ilal jibali kaifa nusibat (bagaimana gunung-gunung ditancapkan). Nah, bagi saya kata 'gunung-gunung ditancapkan sangat-sangat mengesankan. Biasanya orang mengatakan 'gunung itu menjulang', tapi disini dikatakan 'gunung itu ditancapkan', bagi saya itu memukau sekali. Dari situ saya merasa bahasa itu punya keindahan, punya tenaga. Disamping banyak hal lain yang menjadikan saya menyukai sastra, semisal guru Bahasa Indonesia, teman-teman yang mendorong saya membaca karya sastra, juga buku-buku yang tersedia di perpustakaan.

Fungsi sastra bagi manusia menurut Mas Jamal?
Sastra itu menggunakan dua alat penting, bahasa dan imajinasi. Bahasa salah satu fungsinya adalah memberikan eksistensi kepada sesuatu, sederhananya memberi nama. Jadi sesuatu itu memiliki eksistensi jika diberi nama. Anak bahkan sebelum lahir oleh orang tua sudah direncanakan namanya. Planet ketika ditemukan juga diberi nama. Itu fungsi bahasa, membuat sesuatu menjadi ada. Kedua adalah imajinasi, menurut hemat saya imajinasi merupakan suatu anugerah yang hanya diberikan tuhan kepada manusia. Oleh karena itu, berbicara dengan manusia tuhan juga menggunakan imajinasi. Dengan demikian sastra merupakan salah satu cara manusia berada, menegaskan eksistensi.

Mas Jamal melihat sedang ke mana arah sastra Indonesia kini?
Pastinya perkembangan sastra Indonesia sangat menggembirkan, dalam arti sastra Indonesia sekarang cukup semarak. Di lihat dari jumlah penerbitan buku, media masa, jumlah kegiatan di mana-mana serta banyak komunitas-komunitas sastra. Buat saya itu sangat menggembirakan. Bahwa kegiatan sastra itu hidup di Indonesia. Belum lagi sejumlah apresiasi dan penghargaan yang diberikan oleh pers dan berbagai lembaga. Yang juga menggembirakan, menurut saya, ialah munculnya pengarang anak-anak, penulis-penulis cilik yang masih duduk di bangku SD, itu fenomena yang baru sama sekali di Indonesia. Baru sepuluh tahun terakhir inilah kita punya sejarah anak usia SD menulis buku puisi, cerpen, novel dan esai. Lebih menggembirakan lagi kemunculan mereka di tengah pengajaran sastra kita yang kurang bagus, di hampir semua sekolah. Tapi, di setiap kegembiraan selalu terselip tanda tanya; apakah dengan semaraknya sastra belakangan ini dapat dipandang sebagai memajukan selangkah dua langkah sastra Indonesia kita?

alu siapa yang berperan menjadikan penulis cilik tadi produktif?
Saya kira salah satu peran yang sangat penting adalah pers. Karena pers yang paling konsisten memberikan ruang, dorongan serta merangsang mereka untuk berkarya. Belakangan juga penerbit. Banyak yang bersedia menerbitakan karya remaja dan anak-anak. Kalau dulu boleh dibilang tidak ada penerbit yang mau menerbitkan karya remaja atau anak-anak.

Lantas bagaimana dengan sastra dan mahasiswa, kecenderungan apa yang terjadi akhir-akhir ini?
Dari pengalaman saya mengelola rubrik Kakilangit di majalah Horison, ketika mereka SMA potensi menulis karya sastra sangat baik, banyak media menyediakan ruang. Tetapi begitu meng-injak bangku kuliah, mereka tidak lagi mendapatkan media seluas ketika di SMA. Memang mahasiswa sudah bisa masuk media-media umum, tidak lagi memerlukan media khusus. Inilah sebenarnya tantangan tersendiri bagi mahasiswa untuk mencari celah dan kesempatan.

Saat mahasiswa mengirim karya sastra, apakah media akan mendahulukan karya senior untuk dimuat ketimbang karya mahasiswa?
Saya kira tidak. Justru media selalu mencari penulis-penulis muda (mahasiswa-red). Kalau senior itu katakanlah sudah jadi, maka media berkepentingan mencari bibit baru penulis-penulis muda. Karena itu mahasiswa harusnya sangat produktif. Pasalnya, berbagai kesempatan memungkinkan untuk itu. Memang lagi belajar, haus-hausnya baca buku, menulis dan mengirimkan tulisan ke media.

Sebagai dosen dan alumni UIN Jakarta, apa pendapat Mas Jamal tentang sastra di UIN Jakarta?
Sastra seharusnya tidak terlalu bergantung pada background keilmuan. Mahasiswa apa saja boleh menulis sastra. Di tiap fakultas tentunya ada yang berminat dengan sastra, cuma tidak tahu sejauh mana terkoordinir. Di UIN Jakarta, saya rasakan sastra cenderung dianggap pinggiran dari keseluruhan kajian pemikiran belakangan ini. UIN seingat saya tidak pernah memberikan gelar honoris causa pada bidang sastra. Sastra dianggap tidak penting begitulah.

Pendapat Mas Jamal dengan kehadiran Komunitas Sastra Senjakala?
Bagi saya kehadiran komunitas sastra semacam ini sangat penting dan menarik. Karena sepengetahuan saya, para sastrawan besar rata-rata lahir dari sebuah komunitas, jarang yang lahir sendiri.

ABRAHAM ZAKKY ZULHAZMI

buletin sastra © 2008. Template by Dicas Blogger.

TOPO