Kamis, 18 Februari 2010

Ada Cinta Dalam 'Sekumpulan Surat Kepada Cinta'

oleh: Amelia Fitriani

Cinta merupakan tema yang jamak diangkat oleh banyak penulis dalam karya-karyanya. Karena banyaknya yang menggunakan tema itu, muncul tantangan tersendiri bagi penulis yang ingin mengangkat tema tersebut. Salah satunya adalah 'mendandani' tulisanya agar tidak membuat pembaca jenuh. Salah satu penulis yang mencoba memoles tema tersebut adalah Eko Sugiarto dalam buku antologi cerpen 'Sekumpulan Surat kepada Cinta'.

Buku ini terdiri dari tiga belas cerpen yang sepuluh diantaranya pernah dipublikasikan di berbagai media sebelum dibukukan, tiga diantaranya adalah “Balkon” (Borneonews, 4 Februari 2007), “Maaf, Senja ini Aku Tak mengirim Bunga” (Koran Tempo, !9 Maret 2006), “Perempuan Tanpa Nama” (Padang Ekspress, 15 Oktober 2006), dan tujuh cerpen lainya yang pernah dipublikasikan sebelumnya.

Ugie, panggilan akrab Eko Sugiarto mencoba seinteraktif mungkin memabaurkan pembaca untuk terlibat emosi dalam tulisanya dengan menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu 'aku' yang digambarkan sebagai seorang lelaki dan menjadikan pembaca sebagai lawan bicaranya, yaitu tokoh 'kamu' yang selalu digambarkan sebagai seorang wanita. Namun dalam beberap cerpen Ugie memasukkan tokoh 'dia', seperti dalam cerpen 'Balkon'. Sudut pandang orang pertama itu digunakan dalam semua cerpen di buku ini, kecuali cerpen 'kamar 305' yang menggunakan sudut pandang orang ketiga.

Hal yang juga unik dari buku ini adalah, konsistensi Ugie untuk tidak menceritakan secara utuh permasalahan yang terjadi dalam tiap cerpenya. Ia bisa dibilang hanya memberikan fragmen utama dari cerita tersebut, sedangkan fragmen pendukung yang sebenarnya juga penting, dihilangkan. Fragmen yang sering dihilangkan itu adalah fragmen sebab atau alasan yang melatarbelakangi seorang tokoh mampu melakukan suatu hal yang mengejutkan pembaca. Seperti misalnya dalam cerpen 'Dering Telepon Setelah Bedug Lohor' yang menghilangkan fragmen alasan mengapa tokoh 'kamu' memutuskan untuk menceraikan tokoh 'aku', atau cerpen 'kamar 305' yang kehilangan alasan mengapa tokoh sang istri tega membunuh suaminya yang sakit. Sehingga pembaca dibuat menerka-nerka untuk melengkapi sendiri puzzle fragmen yang hilang itu.

Membaca cerita-cerita dalam buku ini sama halnya seperti kita membaca surat. Ada cerita yang dikomunikasikan secara tidak langsung dan ada interaksi yang dibuatnya. Hal itu bisa jadi merupakan alasan mengapa buku ini berjudul 'Sekumpulan Surat kepada Cinta'. Buku ini layak dibaca oleh siapapun yang ingin meneguk cerita cinta tanpa terkotakkan usia, gender, ataupun profesi.

Peresensi adalah mahasiswi HI/FISIP. Aktif di Tongkrongan Sastra SENJAKALA.

buletin sastra © 2008. Template by Dicas Blogger.

TOPO