Kamis, 18 Februari 2010

Rebah

oleh: Abraham Zakky Zulhazmi

Fu:
Kata mereka, aku begundal muda berparas ustadz. Menghamili pacarku di usia empat belas tahun. Punya anak setahun kemudian. Selanjutnya adalah sepi: guru-guru memandangku dengan tatapan hina dan bibirnya seolah mencibir. Teman-teman satu persatu berlepasan. Para tetangga sama berbisik di forum-forum rumpi.

Tapi, aku beda. Setelah pasti pacarku hamil, aku tidak lari! Aku petarung yang siap terbakar setelah menggoda kobar api. Aku pejantan yang menjinakkan angin di puncak menara. Maka aku menyaksikan ibu pacarku menangis tak sudah-sudah mendengar kesaksianku. Untunglah ayahnya tidak ringan tangan menampar atau menghajarku. Hanya saja gelengan kepala tanda penyesalan darinya tak bisa kulupa.

Demi hidup yang harus bergulir. Akulah saksi sengal nafas istriku saat melahirkan si jabang bayi. Juga betapa menyayat tangis pertama bayi merah yang musti segera aku azani dan kuberi nama. Bayi yang kini begitu menggemaskan. Banyak yang berujar, mata anakku mewarisi mataku yang menyala sedang hidungnya adalah hidung bangir ibunya.

Hingga sampailah aku pada musim hujan tahun ini. Lain. Aku merasa ganjil. Setiap kali hujan reda dan tanah menebar wangi yang khas, selalu hadir serupa kerinduan. Rindu kepada tempat-tempat jauh yang tak tergapai. Kepada masa-masa yang hilang. Selepas hujan di sore yang pudar kala itu, aku menyanyi: tik-tik-tik bunyi hujan di atas genting, airnya turun tidak terkira, cobalah tengok, dahan dan ranting, pohon dan kebun basah semua

Ma:
Kata mereka, aku wanita murahan. Memberi keperawanan maha suci kepada sang pacar saat kelas tiga SMP. Aku dibilang telah hancurkan reputasi ayah, mencoreng nama ibu dan keluargaku. Tidak ada sapa dan peluk yang hangat lagi dari teman-teman. Terbuang.

Apa hendak dikata jika rembulan telah dijemput pagi. Kuterima sayatan dokter kandungan di perut saat melahirkan anakku. Kualihkan masa muda yang hura-hura untuk mengurus suami serta anakku yang lucu dan gemuk. Membagi waktu antara tugas rumah dan kuliah. Semua-semua kujalani. Dengan lapang. Atas nama penebusan.

Acap kali jika suamiku yang punya mata menyala itu telah tidur serta si kecil lelap sudah, aku biasa pergi ke kebun belakang rumah. Meresapi dingin angin. Menghirupi wangi bebunga di pelataran gelap. Sembari aku melantun kidung: lihat kebunku, penuh dengan bunga, ada yang putih dan ada yang merah, setiap hari kusiram semua, mawar melati semuanya indah.

Ren:
Kata mereka, aku adalah anak haram. Dini hari kemarin aku mendengar obrolan kakek dan nenek dari balik tembok kamar. Mereka masih menyesali kenapa ayahku yang bermata nyala dan ibuku yang berhidung bangir itu kalah dalam pertarungan. Tak paham aku pertarungan apa yang mereka maksud.

Tadi pagi ibu guru mengajak murid-murid TK Garuda pergi wisata ke air terjun. Di perjalanan beliau ajarkan sebuah lagu baru. Aku segera hafal dan begitu bersemangat mendendangkannya. Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali, kiri kanan kulihat saja, banyak pohon cemara.

Penulis adalah mahasiswa KPI/FDK . Berkecimpung di Tongkrongan Sastra Senjakala dan Komunitas KETIK.

buletin sastra © 2008. Template by Dicas Blogger.

TOPO