Menguak Makna Kehidupan: Telaah Puisi Kenyot Adisattva
oleh: Dedik Priyanto
Salah satu penyair muda UIN Jakarta, Kenyot Adisatva, hadir dengan dua sajaknya pada lembaran Teh Hangat kali ini. Pada sajak pertama misalnya, berjudul cukup menantang “Di Ranjang” kita diajak untuk berpikir dan menelaah “adegan” dari pena dan kertas. Yang kalau kita lihat secara kasat mata akan terjadinya “persenggamaan” antara keduanya. Saya lebih memaknai kata ini sebagai miniatur kehidupan yang akan terus menerus berproses menghasilkan sesuatu yang baru. Ditambah dengan sajak ini yang ditujukan kepada para penyair (As-Syuara'). Lantas apa kaitan antar kata-kata itu?
Di sini, penyair menulis Kita buat anak sebanyak-banyaknya/Kelak menjadi guru-guru kehidupan dikaitkan dengan Ya, karena birahimu/ Aku lahirkan dewa-dewa /Namun tempo hari /Hanyalah dewa pembuat bencana/Lantas dewa apa esok hari? Kalau dianalisis ada hal yang distingtif antara kalimat guru kehidupan dan pembuat bencana. Lebih-lebih berdasarkan keadaan sosio-demografis negeri ini terutama pasca '98. Laiknya cendawan di musim hujan kita akan menemukan bermunculanya para penyair baru dengan segala ciri khasnya. Dan yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kontribusi mereka bagi kehidupan? Ataukah hanya penyair dengan puisi tanpa makna?
Penyair mencoba mengkritik itu. Posisi seorang penyair bisa disejajarkan dengan Raja. Sedang dalam mitologi Jawa seorang Raja adalah penjelmaan dewa di dunia yang mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan. Penyair di Indonesia akhir-akhir ini tidak mempunyai ruang untuk itu. Bisa jadi diakibatkan karena semakin kurangnya makna yang tersembul dibalik sajak-sajak yang ada. Berbeda kalau kita lihat pada sosok Chairil Anwar, Rendra atau bahkan Wiji Thukul. Tepatlah jika penyair melukiskan itu dengan kalimat Tanpa tau bakal melahirkan apa/Selain puisi-puisi tak berguna.
Pada sajak kedua, penyair mengangkat tokoh wayang Adhaninggar. Hemat saya, bangsa kita membutuhkan sosok seperti Adhaninggar, yang dengan segala kearifan dan kebaikan budinya mampu membuat hati manusia menjadi tenteram dan damai Kau datang tiba-tiba/Di tengah gejolak perseteruan doa/Kelak hadirmu dalam harapan/Kami bertumpu. Berbeda halnya dengan masa Daud atau Sulaiman memimpin seperti apa yang dilukiskan penyair Kau diutus dengan perkara/Bak soal-soal ujian/Tanpa pilihan berganda diteruskan dengan kalimat Kami tlah tuntas menjawab soa-soa/lYang kau bawa/Sudahkah kau temu sayapmu/Sesampaimu di surga?.
Iya, surga itulah tujuan kehidupan pada manusia. Menurut Farabi surga itu dapat dibuat di dunia sendiri dengan segala daya yang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Itu yang coba dikuak penyair muda ini lewat penjelmaan Adhinanggar di dunia sebagai jawaban atas keresahan manusia. Sekali lagi, sajak-sajak penyair muda asal Boyolali ini patut untuk diapresiasi terutama melihat dekadensi kondisi sosial rakyat Indonesia kini. Wallahu wa Kenyot Adisattva a'lam.
Penikmat Sastra. Mahasiswa Psikologi UIN Jakarta aktif di Piramida Circle dan FLP Ciputat.
Salah satu penyair muda UIN Jakarta, Kenyot Adisatva, hadir dengan dua sajaknya pada lembaran Teh Hangat kali ini. Pada sajak pertama misalnya, berjudul cukup menantang “Di Ranjang” kita diajak untuk berpikir dan menelaah “adegan” dari pena dan kertas. Yang kalau kita lihat secara kasat mata akan terjadinya “persenggamaan” antara keduanya. Saya lebih memaknai kata ini sebagai miniatur kehidupan yang akan terus menerus berproses menghasilkan sesuatu yang baru. Ditambah dengan sajak ini yang ditujukan kepada para penyair (As-Syuara'). Lantas apa kaitan antar kata-kata itu?
Di sini, penyair menulis Kita buat anak sebanyak-banyaknya/Kelak menjadi guru-guru kehidupan dikaitkan dengan Ya, karena birahimu/ Aku lahirkan dewa-dewa /Namun tempo hari /Hanyalah dewa pembuat bencana/Lantas dewa apa esok hari? Kalau dianalisis ada hal yang distingtif antara kalimat guru kehidupan dan pembuat bencana. Lebih-lebih berdasarkan keadaan sosio-demografis negeri ini terutama pasca '98. Laiknya cendawan di musim hujan kita akan menemukan bermunculanya para penyair baru dengan segala ciri khasnya. Dan yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kontribusi mereka bagi kehidupan? Ataukah hanya penyair dengan puisi tanpa makna?
Penyair mencoba mengkritik itu. Posisi seorang penyair bisa disejajarkan dengan Raja. Sedang dalam mitologi Jawa seorang Raja adalah penjelmaan dewa di dunia yang mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan. Penyair di Indonesia akhir-akhir ini tidak mempunyai ruang untuk itu. Bisa jadi diakibatkan karena semakin kurangnya makna yang tersembul dibalik sajak-sajak yang ada. Berbeda kalau kita lihat pada sosok Chairil Anwar, Rendra atau bahkan Wiji Thukul. Tepatlah jika penyair melukiskan itu dengan kalimat Tanpa tau bakal melahirkan apa/Selain puisi-puisi tak berguna.
Pada sajak kedua, penyair mengangkat tokoh wayang Adhaninggar. Hemat saya, bangsa kita membutuhkan sosok seperti Adhaninggar, yang dengan segala kearifan dan kebaikan budinya mampu membuat hati manusia menjadi tenteram dan damai Kau datang tiba-tiba/Di tengah gejolak perseteruan doa/Kelak hadirmu dalam harapan/Kami bertumpu. Berbeda halnya dengan masa Daud atau Sulaiman memimpin seperti apa yang dilukiskan penyair Kau diutus dengan perkara/Bak soal-soal ujian/Tanpa pilihan berganda diteruskan dengan kalimat Kami tlah tuntas menjawab soa-soa/lYang kau bawa/Sudahkah kau temu sayapmu/Sesampaimu di surga?.
Iya, surga itulah tujuan kehidupan pada manusia. Menurut Farabi surga itu dapat dibuat di dunia sendiri dengan segala daya yang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Itu yang coba dikuak penyair muda ini lewat penjelmaan Adhinanggar di dunia sebagai jawaban atas keresahan manusia. Sekali lagi, sajak-sajak penyair muda asal Boyolali ini patut untuk diapresiasi terutama melihat dekadensi kondisi sosial rakyat Indonesia kini. Wallahu wa Kenyot Adisattva a'lam.
Penikmat Sastra. Mahasiswa Psikologi UIN Jakarta aktif di Piramida Circle dan FLP Ciputat.