Kamis, 18 Februari 2010

Kematian Cerpen Indonesia

oleh: Dedik Priyanto

Judul Buku: 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009
Penulis: Triyanto Triwikomo (ed.)
Penerbit: Gramedia
Cetakan: I, 2009
Halaman: iii + 176 halaman



Kematian adalah sosok paling menakutkan bagi manusia. Dan mau tak mau semua yang bernyawa akan berhadapan dengan hal ini; aku, kamu dan jiwa-jiwa yang akan bertemu denganNya melalui perantara kematian itu.

Dunia sastra -khususnya cerpen- meminjam istilah Hamsad Rangkuti, adalah cerminan dunia nyata. Maka apakah ini merupakan kematian kita; manusia, yang digambarkan melalui narasi yang disebut “cerita pendek”. Itulah yang coba penulis kuak melalui buku 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009 ini. Buku tersebut merupakan representasi cerpen-cerpen terbaik Indonesia yang berserakan di pelbagai media massa rentang 2008-2009. Diseleksi oleh sastrawan nomor wahid semisal Sapardi Joko Damono, Budi Dharma, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri dll.

Dari sekian cerpen yang ada, paling tidak ada emapat cerpen disini yang mengeksplorasi kematian sebagai ide dasarnya. Yaitu Cincin Kawin (Danarto), Lembah Kematian Ibu (Triyanto Triwikromo), Hari Ketika Kau Mati (Stefanny Irawan) dan Kamar Bunuh Diri (Zaim Rofiqi). Tema ini sering kali dieksplorasi dengan ciamik oleh Hudan Hidayat dalam cerpen-cerpennya.

Danarto misalanya, ia mencoba mengupas sisi gelap masa orde baru. Suatu masa dengan intensitas pembunuhan serta penculikan yang tinggi. Terjadi manakala berbeda persepsi dengan pemerintah. Potret kemiskinan menjadi spektrum yang kentara mewarnai cerpen Danarto ini. Khususnya ketika sang ibu menemukan potongan-potongan jemari suaminya dalam perut ikan yang ia beli dengan harga sangat murah. Karena tidak mampu beli yang lainnya, melalui penanda cincin perkawinan yang masih melingkar di jari suaminya.

Hingga tak lama Ibu pun meninggal dunia.
Lain halnya dengan apa yang dituturkan Zaim Rofiqi dan Stefanni Irawan. Mereka mencoba mengkontekstualisasikan fenomena yang akhir-akhir ini marak di negeri ini, yakni bunuh diri. Dua kisah ini menggambarkan suasana destruktif kekecewaan manusia atas keadaan yang ada dan berusaha mengakhirinya. Meminjam istilah Freud, bahwa dalam alam bawah sadar manusia terdapat dua kekuatan yang saling bertentangan. Yaitu dorongan bertahan hidup (eros) dan dorongan menuju kematian (thanatos) pada dirinya. Dua cerita ini seolah menggambarkan kekalahan jiwa rasional manusia menghadapi dunia realita yang ada.

Memang sedikit simplistic jika hanya berbicara tentang kematian melalui dunia cerpen. Namun, paling tidak buku ini mampu menggugah hati kita sebagai manusia. Bahwa hidup ini tidak akan pernah lepas dari kematian. Entah itu kita menolak kedatangannya kelak, atau bahkan menjemputnya dengan tangan terbuka.

Penulis adalah penikmat sastra. Mahasiswa Psikologi UIN Jakarta. Aktif di FLP Ciputat.

buletin sastra © 2008. Template by Dicas Blogger.

TOPO