Quo Vadis Perang Sastra boemipoetra vs TUK
oleh: Arief Mahmudi
Sungguh menarik untuk membincang “perang sastra” antara boemipoetra versus lawannya, yaitu Teater Utan Kayu (TUK). Adalah Saut Situmorang (SS), penyair berbadan gempal berambut gimbal yang menjadi “tokoh utama” polemik ini. Lewat sejumlah pernyataannya di berbagai kesempatan (tulisan di jurnal boemipoetra, wawancara, posting-an di situs jejaring sosial facebook, dll), ia gemar menyerang Goenawan Mohamad (GM), penyair-esais senior negeri ini yang juga tokoh TUK, beserta (meminjam bahasa SS sendiri) “segelintir penulis muda yang berlindung di balik bayangannya yang tua”.
Serangan SS dan pegiat lainnya di boemipoetra (antara lain Wowok Hesti Prabowo, Kusprihyanto Namma, dan Katrin Bandel) berkisar pada masalah tuduhan hegemoni sastra Indonesia oleh TUK. Terlibatnya para pegiat TUK di balik meja redaksi sastra beberapa surat kabar nasional, seperti Hasif Amini (redaktur puisi harian Kompas) dan Nirwan Dewanto (redaktur sastra Koran Tempo) dikritik habis-habisan oleh SS dan kelompoknya. Keterlibatan mereka dianggap SS hanya menciptakan tafsir tunggal tentang sastra Indonesia, yakni bahwa sebuah karya barulah dianggap “nyastra” setelah mendapat tempat di dua surat kabar bergengsi itu.
Hal lain yang menjadi sasaran kritik boemipoetra terhadap TUK sesungguhnya masih sangat banyak. Antara lain, tentang hegemoni TUK di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan pencibiran DKJ sebagai komunitas yang mandul, hingga tudingan Komunitas Utan Kayu (induk dari TUK) sebagai agen imperialis asing.
Sayangnya, sang lawan hanya menanggapi dingin. Dalam wawancara Rizka Maulana dengan GM, tersirat kesan bahwa ia menanggapi santai berbagai tuduhan boemipoetra. Ia menganggap para penulis di jurnal boemipoetra sebagai “anak-anak yang mencorat-coret di kakus, sehingga tak perlu ditanggapi secara serius.” Pegiat lainnya, Sitok Srengenge, saat dimintai komentar mengaku sedang sibuk sehingga tak punya waktu untuk menjawab polemik menarik ini.
Sebagai seorang awam yang berada di luar dua “kubu” ini, saya berharap agar perang sastra antara boemipoetra dengan TUK dapat berlangsung dengan lebih menarik, dan dapat memberi manfaat bagi kemajuan sastra dan kebudayaan negeri ini, seperti yang pernah terjadi pada era Polemik Kebudayaan di masa lalu.
Penulis aktif di Tongkrongan Sastra Senjakala.
Sungguh menarik untuk membincang “perang sastra” antara boemipoetra versus lawannya, yaitu Teater Utan Kayu (TUK). Adalah Saut Situmorang (SS), penyair berbadan gempal berambut gimbal yang menjadi “tokoh utama” polemik ini. Lewat sejumlah pernyataannya di berbagai kesempatan (tulisan di jurnal boemipoetra, wawancara, posting-an di situs jejaring sosial facebook, dll), ia gemar menyerang Goenawan Mohamad (GM), penyair-esais senior negeri ini yang juga tokoh TUK, beserta (meminjam bahasa SS sendiri) “segelintir penulis muda yang berlindung di balik bayangannya yang tua”.
Serangan SS dan pegiat lainnya di boemipoetra (antara lain Wowok Hesti Prabowo, Kusprihyanto Namma, dan Katrin Bandel) berkisar pada masalah tuduhan hegemoni sastra Indonesia oleh TUK. Terlibatnya para pegiat TUK di balik meja redaksi sastra beberapa surat kabar nasional, seperti Hasif Amini (redaktur puisi harian Kompas) dan Nirwan Dewanto (redaktur sastra Koran Tempo) dikritik habis-habisan oleh SS dan kelompoknya. Keterlibatan mereka dianggap SS hanya menciptakan tafsir tunggal tentang sastra Indonesia, yakni bahwa sebuah karya barulah dianggap “nyastra” setelah mendapat tempat di dua surat kabar bergengsi itu.
Hal lain yang menjadi sasaran kritik boemipoetra terhadap TUK sesungguhnya masih sangat banyak. Antara lain, tentang hegemoni TUK di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan pencibiran DKJ sebagai komunitas yang mandul, hingga tudingan Komunitas Utan Kayu (induk dari TUK) sebagai agen imperialis asing.
Sayangnya, sang lawan hanya menanggapi dingin. Dalam wawancara Rizka Maulana dengan GM, tersirat kesan bahwa ia menanggapi santai berbagai tuduhan boemipoetra. Ia menganggap para penulis di jurnal boemipoetra sebagai “anak-anak yang mencorat-coret di kakus, sehingga tak perlu ditanggapi secara serius.” Pegiat lainnya, Sitok Srengenge, saat dimintai komentar mengaku sedang sibuk sehingga tak punya waktu untuk menjawab polemik menarik ini.
Sebagai seorang awam yang berada di luar dua “kubu” ini, saya berharap agar perang sastra antara boemipoetra dengan TUK dapat berlangsung dengan lebih menarik, dan dapat memberi manfaat bagi kemajuan sastra dan kebudayaan negeri ini, seperti yang pernah terjadi pada era Polemik Kebudayaan di masa lalu.
Penulis aktif di Tongkrongan Sastra Senjakala.